Catatan Misionaris Boger: Alfoersche, Alifuru Galela Tiabo

oleh -74 views

Oleh: Muhammad Diadi, Penulis, Pelaku Budaya Galela

Pada tahun 1921 pendeta Boger mulai bertugas di Galela (Duma), tugas Kristenisasi di Galela dirangkap oleh pendeta tersebut. Istri dari pendeta Boger adalah seorang perawat dimana ia membantu suaminya untuk mengobati penduduk desa yang terkena penyakit.

Pendeta Boger bertemu salah seorang Alifuru Tiabo yang sudah memeluk agama Islam. Alifuru tersebut menetap di Desa Dokulamo dan menikahi seorang perempuan dari Tobaru serta mau membantu pendeta Boger untuk menyebarkan agama Kristen di Tiabo sebuah pemukiman Alifuru yang masih memegang kepercayaan lelehurnya.

Pendeta Boger dan istri di antar ke Tiabo oleh Alifuru tersebut dimana istri pendeta Boger membawa obat-obatan serta minuman untuk diberikan kepada penduduk Tiabo. Berikut gambaran oleh pendeta Boger ketika pergi ke Tiabo.

“Saya pergi ke sebuah desa di sungai Tiabo, untuk mengunjungi beberapa penduduk alifuru. Jalannya tidak mudah, jalan yang sempit, serta alang-alang yang tinggi dan juga cuacanya sangat panas. Ada juga beberapa jalan berlumpur di sepanjang perjalanan. Setelah itu kami menemukan sebuah rumah kebun untuk kami beristirahat di rumah kebuh itu sangat indah, istriku merebahkan tubuhnya karena lelah.

Baca Juga  Salma Hayek Pamer Berbikini di Usia 57, Nitizen: Kamu Selamanya 30-an

Kami melanjutkan perjalan beberapa mil kemudian kami di perhadapkan oleh rumah-rumah penduduk yang rapi dan indah, sebagian rumah Alifuru tanpa dinding, atau bambu yang dipisah serta ada ornamen binantang disetiap rumah yang di tuakan.
Ornamen-ornamen binatang seperti kura-kura, ular, buaya dan anjing yang dimana bahwa hewan-hewan tersebut memiliki makna tersendiri untuk penduduk Tiabo. Mereka tidak segang-segang membunuh orang yang coba menyakiti buaya atau kura-kura, pembunuhan di anggap sebagai satu kehormatan jika dapat membunuh orang menyakiti atau membunuh hewan-hewan tersebut.

Di tengah-tengah desa aku melihat sebuah rumah yang dihiasi dengan indah, ditutupi dengan deretan tatapan; tiga lelaki duduk di ruang depan serta setiap rumah memiliki seri sendiri-sendiri.

Ada beberapa wanita memberitahu kepada tiga lelaki itu bahwa perahu mereka yang menuju ke Morotai tenggelam dan ada beberapa orang yang mati. Lalu seorang bernama Ngidehi mendekati pemimpin perahu dan memarahinya karena beberapa penduduknya mati akibat perahu yang dibawah oleh pemimpin tersebut.

Baca Juga  Tim Monev Divpas Kanwil Kemenkumham Maluku Evaluasi Kinerja Rutan Ambon

Ternyata Ngidehi adalah seorang kepala suku Tiabo yang sangat di hargai oleh penduduknya bahkan ia sering membunuh tentara Belanda di Morotai serta sering terlibat dalam peperangan antara suku terutama dengan Tobaru. Saya pun mengdekati kepala suku itu dan memberitahu maksud saya, saya dan istri saya diterima di dalam rumah kepala suku tersebut banyak tanduk rusa yang di pajang sepajang dapur dan sesekali saya merasa bahwa saya akan dibunuh.

Penduduk Alifuru Tiabo masih mempercayai agama lelehurnya sedangkan yang sudah beragama Islam tidak diperbolehkan tinggal di Tiabo karena itu alifuru Tiabo yang sudah beragama Islam mereka menetap di desa Ngidiho serta Dokulamo.

Baca Juga  Head to Head dan Statistik: Real Madrid vs Union Berlin

Saya hanya dapat membaptis dua kepala keluarga saja di Tiabo setelah itu saya kembali ke Duma untuk melanjutkan pekabaran Injil di Soatobaru dan Ngidiho.” (*)

===========

Terjemahan: Muhammad Diadi
𝘚𝘶𝘮𝘣𝘦𝘳: 𝘔𝘢𝘫𝘢𝘭𝘢𝘩 | 𝘗𝘦𝘯𝘯𝘪𝘦𝘴𝘬𝘦𝘯 (1932, 𝘯𝘰 06). 𝘗𝘦𝘯𝘦𝘳𝘣𝘪𝘵: 𝘒𝘦𝘮𝘪𝘯𝘬 & 𝘴𝘰𝘯, 𝘜𝘵𝘳𝘦𝘤𝘩𝘵 | Ket. Foto: Pemuatan Kayu Eboni di Galela, Halmahera 1924.