Agama dan Perdamaian di Tanah Papua

oleh -64 views

Oleh: Moksen SirfefaPeminat Sejarah dan Peradaban.

“Seandainya agama yang datang di Tanah Papua hanya membawa kekacauan dan disharmoni, sebaiknya manusia Papua tidak perlu beragama” (Imajiner)

DI ABAD Pertengahan Eropa urusan agama dan urusan politik berlangsung terpisah gegara fatwa “berilah kepada raja apa yang menjadi haknya dan berilah kepada Tuhan apa yang menjadi hak-Nya”, ditafsirkan sesuai keinginan penguasa saat itu. Mereka membuat garis hipostatis bahwa agama tidak boleh dicampuradukkan dengan urusan negara maupun sebaliknya. Inilah awal mula sekularisme di dunia Barat. Pandangan ini menganut paham individualistik yang memandang spritualitas manusia bersifat personal dan hanya individu dan Tuhannya yang mengetahui sejauhmana intensitas hubungan antara keduanya. Pandangan ini secara tidak langsung memangkas fungsi sosial agama, seolah-olah agama bukan milik sosial tapi milik individu ( sophist) semata. Kalau demikian, mengapa Tuhan mengutus para Nabi datang mengajak sekian banyak kumpulan manusia untuk mengikuti jalan-Nya? Mengapa Tuhan tidak mengutus setiap manusia satu Nabi saja ( one man one Messenger?), sehingga sejauhmana jumlah populasi manusia di muka bumi, sejauh itu pula jumlah para Nabi yang mengiringinya! Betapa padatnya planet mungil ini dijejali manusia dan para pengawal moral yang bergelar Nabi itu. Kiranya pandangan yang mengatakan bahwa agama adalah masalah privat dan bukan masalah publik sungguh akan memperoleh jawabannya dalam kemusykilan sekaligus kemustahilan ini. Oleh sebab itu, menjadikan agama tidak sekedar menjadi masalah privat tapi juga publik membawa konsekuensi pada kehati-hatian kita untuk melakukan praktek kehidupan pragmatis dalam bingkai misi agama.

Link Banner

No More Posts Available.

No more pages to load.