Oleh: Muhammad Joni, SH, MH, Sekretaris Umum The Housing and Urban Development (HUD) Institute, penulis buku ‘Ayat-Ayat Perumahan rakyat’ (2018, dan ‘Ayat-Ayat Kolaborasi Jakarta Habitat’ (2022), anggota Badan Kajian Strategis DPP REI (2023-2027)
Bakda zuhur, walau terik di luar matahari mulai tergelincir. Pemandangan lalu lintas pengakhir Desember 2023 masih ramai. Patik asyik mengedit kata demi kata, menginjeksi gizi-cum-tenaga, mendandani kalimat dari layar smartphone, membuatnya seakan bernyawa. Ini bukan opini pertama soal kota, bermula dari sajian fasilitas gizi debat Calon Wakil Presiden ikhwal pembangunan kota.
Debat selesai. Hidup kudu berlanjut. Ruang spasil itu mahal, dan diperebutkan sebagai kapital. Tapi hidup lebih jauh berharga lagi. Demi merawat hidup, warga meransek kota.
Konsisten, kota semakin mengkota. Bonus demografi nanti hendak diapakan? Urbanisasi yang tidak terkontrol. Penghuninya berebut oksigen dengan kenderaan yang ditumpanginya sendiri. Limbahnya CO2. Yang jahat merusak udara lingkungan kota lama atapun baru, yang merampas kesehatan pernafasan dan organ paru-paru yang ajaib dan tak tergantikan mesin. Paru-paru kota yang sekarat, penghijauan datang menyegarkannya. Paru-patu pepohonan kota itu bukan hanya metaphor, tetapi bukti empiris bahwa kota itu bernyawa, idemditto dan koeksistensi dengan penghuninya. Tak hanya ajakan pohon kota dan peduli kita, apa ikhtiar kebijakan negara dan insentif dari helat elektoral pemilu untuk mendokterkan kota-kota?