Mengambil tamsil kota seperti organisme yang bernyawa: lahir, kembang, tumbuh dan mati, maka kota-kota berhak disehatkan. Dari urbanisasi tidak produktif dan tak terkontrol; perlu diintervensi dengan agenda baru perkotaan. Menurut data, urbanisasi di Indonesia masih runyam bahkan resiko beban, sebab kurun 20 tahun (1996-2016), eskalasi 1% tingkat urbanisasi ditakwil sebagai kausal peningkatan PDB per kapita 1,4% saja. Bandingkan negara-negara Asia-Pasifik mencapai lebih tinggi: 2,7%. Tiongkok malah 3,0%.
Menghadapi degeneratif kota yang padat beban dan rentan dengan patologis ini: gap sosial dan kesenjangan ekonomi. Yang makin menambah berat beban lingkungan, patologi sosial, indeks kenyamanan hidup, bahkan sembraut persilangan sektoral “kabel” jaringan birokrasi yang tumpang tindih membebani detak nyawa kota.
Diprediksi, kota-kota bakal menjadi ruang spasial hunian terbesar warga dunia. Menurut data PBB (2015), pada tahun 2030 sekira 5,06 miliar orang atau 60% tinggal di perkotaan. Tahun 2045: 6,03 miliar orang atau 64,8%. Diperkirakan pulau Jawa menjadi Kota Jawa yang terkoneksi, a.k.a. aglomerasi. Kontras dengan klaim Jan Wissemenn Christie yang menggambarkan penduduk Jawa masa lalu dalam tulisan berjudul ‘Negara Tanpa Kota’ (State Without City) (1991) dalam jurnal terbitan Universitas Cornell yang merujuk sensus Rafless merekam penduduk Jawa.