“Aku ini hanya mengandaikan. Jika saja bongkahan es tetaplah bongkahan es yang membeku, kendati disandingkan dengan api yang membara. Dunia ini akan tidak terlalu dingin dan tidak terlalu hangat. Koyo lagune sopo toh? Eh, lali aku,” Gus menepuk bahu Badrun, anak muda yang duduk tak jauh di sampingnya.
“Oh, Alam Pakle. ‘Sedang-Sedang Saja’,” jawab Badrun senyum-senyum.
“Adem ayem tentrem ngono maksudmu?” Wak Kijo bertanya sambil mengerik dadanya dengan remason.
“Ya, iya. Tenteram!” Gus menegaskan perkataannya sambil berdiri dan mengepalkan tangan kirinya.
“Lalu bagaimana dengan para setan dan sebangsanya? Apa mereka dipensiunkan dari tugasnya?” tanya Mas Muaarif yang jebolan pesantren sambil melempar satu kartu gaplenya ke tengah arena.
“Ya bagaimana dengan kita nantinya?” Tarsiyah menyahut dari kejauhan arena gaple.
“Maksudmu, Nduk?” Wak Kijo tidak mengerti apa yang dibicarakan Tarsiyah.
Tarsiyah bangun dan memegang dadanya yang terasa sesak, “Gini loh Wak, kita saja sudah sempit berkumpul di depan emper toko ini karena tidak punya kerjaan tetap. Lah kalau ditambah dengan bangsa setan apa tidak mbludak depan emperan toko ini.”
=======
Iis Nia Daniar
adalah guru tenaga kontrak pada salah satu SMP Negeri di Kota Bekasi. Cita-citanya memberikan warisan kumcer pada anak sematawayangnya Ishafani.