‘Crazy Rich’ Cabinet dan Sang Oligarch

oleh -40 views

Oleh: Made Supriatma, Peneliti dan jurnalis lepas. Saat ini bekerja sebagai visiting research dellow pada ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapore

Saya menulis dua komentar yang dipublikasi minggu ini. Pertama, komentar terhadap Pilkada yang diterbitkan kantor saya, ISEAS.

Kedua adalah komentar yang diterbitkan Channel News Asia. Ini tentang reshuffle kabinet

Kedua komentar ini ditulis untuk pembaca non-Indonesia. Ada banyak hal yang sesungguhnya ingin saya sampaikan namun tidak tersampai. Hal yang ingin saya tekankan, tidak mendapat penekanan yang cukup. Itulah resikonya menulis di media.

Link Banner

Namun saya memiliki minat untuk mengamati ini lebih lanjut. Untuk saya, konstelasi para elit ini sangat menarik untuk diamati. Siapa yang bersekongkol dengan siapa, dan mendapat apa?

Tentu ini memiliki implikasi teoritik. Selama ini kita bicara bahwa politik Indonesia dikendalikan oleh oligarki. Namun kita jarang dapat menunjuk dengan tepat, siapa itu para oligarch? Bagaimana mereka beroperasi? Apa keuntungan yang mereka dapatkan dari pengendalian mereka atas politik?

Kadang kita menunjuk para penguasa partai politik ketika harus memberi contoh para oligrach. Kadang kita menunjuk pada plutokrat atau orang-orang mahakaya yang mampu membeli apa saja, termasuk jabatan dan suara pemilih. Namun benarkan mereka oligarch? Apa bedanya dengan boss? Apa bedanya dengan “caciques” yang menurut beberapa ahli mengendalikan politik di Filipina dan negara-negara Amerika Latin?

Ataukah sesungguhnya oligarki ini sesuatu yang mapan (established)? Bukankah para oligarch ini beraliansi satu sama lain dengan kepentingan berbeda di waktu yang berbeda-beda? Jika demikian halnya, apa bedanya dengan klik (cliques)?

Baca Juga  5 Zodiak yang Paling Menyukai Kedamaian dan Ketenangan

Pertanyaan-pertanyaan penting ini harus dijawab para ilmuwan politik kita di Indonesia.

Sementara itu, belum lama kita bicara soal populisme, soal bagaimana para elit ini berusaha menampilkan diri sebagai “pahlawan” rakyat. Semua elit berusaha menampilkan diri sebagai ‘merakyat,’ anti kemapanan, dan uniknya anti elit juga.

Sejauh mana sesungguhnya populisme ini berhasil dalam politik kita? Adakah ini fenomena sesaat untuk memanipulasi rakyat di bawah?

Sesudah tampil populis, terjadi pembalikan yang sangat cepat. Begitu selesai dengan Pemilu, semua berubah. Politik kembali sangat elitis. Bahkan para elit bersatu seperti tidak pernah kita alami sebelumnya. Kini mereka berbagi diantara mereka sendiri. Hilang sudah semua retorika populis itu.

Seorang kawan kemarin bertanya-tanya, mereka bunuh enam orang dan seolah tidak ada apa-apa. Yang dia maksudkan adalah pembunuhan enam laskar FPI di jalan tol Cikampek beberapa pekan lalu. Kontrol terhadap para elit ini terasa sekali makin lemah. Mereka boleh berbuat apa saja tanpa konsekuensi apapun. Dan ini sesungguhnya sangat mengerikan. Kekuatan tanpa kontrol dan tanpa imbangan adalah mengerikan.

Baca Juga  Pemkot Ambon dan Telkom Teken Kerjasama Penyediaan Layanan Internet

Saya juga melihat transformasi dari Presiden Jokowi. Jika dia bisa selesai hingga 2024, sejarah akan mencatat dia sebagai satu-satunya presiden sipil yang berkuasa penuh dua periode.

Dan, yang lebih penting lagi, dia berkuasa karena mandat rakyat yang didapat dari pemilihan. Bukan dari kudeta atau karena intrik kekuasaan dari para elit.

Namun, presiden ini juga bertransformasi. Dia menanggalkan sama sekali bajunya sebagai non-elit, anti-kemapanan, dan citranya sebagai seorang kebanyakan. Sekarang dia sendiri sudah menjadi seorang oligarch.

Ketika menulis soal Pilkada, saya melihat transformasi yang cepat. Dari dulu, Presiden Jokowi sangat berhati-hati untuk menekankan bahwa anak-anaknya tidak tertarik pada politik.

Itu berubah total pada 2019 setelah dia menang Pemilu. Anak dan menantunya maju ke pemilihan walikota, keduanya menang.

Itu dilakukan secara absah (legitimate). Namun sekaligus juga memperlihatkan watak politik Indonesia yang sangat elitis. Semua diselesaikan dengan negosiasi para elit.

Baca Juga  7 Cara Elegan untuk Berhenti Mencintai Pria yang Tak Bisa Dimiliki

Mereka hanya butuh rakyat ketika mereka membutuhkan stempel legitimasi elektoral.

Apakah ini akan berhasil? Saya tidak tahu. Namun belajar dari sejarah dan pengalaman masa lalu, saya kira, politik akar rumput tidak bisa terus menerus diabaikan dan dimanipulasi.

Namun lagi-lagi persoalannya, mengapa kekuatan dari bawah ini tidak tumbuh? Apakah benar rakyat bisa sedemikian gampang dimanipulasi oleh para elit? Saya terus terang tidak percaya itu. Saya tetap percaya bahwa rakyat adalah “agency.”

Lalu, apa yang membuat ketidakjumbuhan antara politik elit dengan rakyat ini?

Pertanyaan-pertanyaan ini, saya tahu, sulit untuk dijawab. Namun ia harus dijawab. Kita tidak kekurangan ilmuwan politik dan ilmuwan sosial yang mampu mengadakan penelitian dan mau menghabiskan umurnya untuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan ini.

Soal dua komentar ini, ya ia tetap saja komentar dengan segala kedangkalannya. Namun saya berharap saya bisa bekerja sama dengan banyak kawan untuk mendapatkan jawaban yang lebih substansial. (*)