Oleh: Mohammad Aliman Shahmi, Dosen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Mahmud Yunus Batusangkar
DALAM wajah Indonesia yang demokratis, otonomi daerah dijunjung tinggi sebagai pilar pembangunan nasional. Namun, dalam praktiknya, otonomi sering kali terperangkap dalam cengkeraman populisme yang melanda banyak kepala daerah.
Perilaku populis ini, meskipun menarik simpati massa, seringkali meninggalkan jejak yang merusak pada kesehatan fiskal daerah. Ironisnya, kembali berdampak pada kualitas hidup masyarakat yang hendak mereka layani.
Di berbagai daerah di Indonesia, terlihat jelas bagaimana dana pembangunan yang seharusnya dialokasikan untuk proyek-proyek infrastruktur dan pelayanan publik, malah dialihkan untuk program-program populis.
Program-program ini, seperti subsidi bahan pokok dan bantuan langsung tunai, meskipun populer, sering kali tidak memberikan solusi jangka panjang untuk masalah yang dihadapi masyarakat.
Pengelolaan keuangan yang buruk ini menimbulkan defisit APBD berkelanjutan. Data dari Kementerian Dalam Negeri menyebutkan bahwa pada 2024, lebih dari 60 persen kabupaten/kota di Indonesia mengalami defisit anggaran.
Defisit ini bukan hanya angka dalam laporan keuangan, tetapi memiliki implikasi nyata terhadap kemampuan daerah dalam menyediakan infrastruktur publik, layanan kesehatan, dan pendidikan.