Oleh: Despan Heryansyah, Dosen dan peneliti PSHK Fakultas Hukum UII
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur dan Bupati/Wali Kota akan diselenggarakan pada 27 November 2024 mendatang. Ini adalah pesta demokrasi terbesar kedua rakyat Indonesia setelah pemilihan presiden dan legislatif pada 14 Februari silam.
Bedanya, pilkada sekalipun dilakukan secara serentak di level nasional, dinamika yang terjadi hanya berada pada level masing-masing provinsi dan kabupaten/kota. Namun, justru karena berada di level lokal inilah, ketegangan dan gesekan yang terjadi lebih rumit dan keras.
Menggambarkan kerumitan dan ketegangan perhelatan ini, ada banyak tokoh dan pakar yang mengusulkan agar pilkada tidak lagi diselenggarakan secara langsung. Usulan ini muncul dari evaluasi pilkada langsung yang selenggarakan sejak 2005 (dimulai di Aceh) hingga 2024 ini. Tulisan ini hendak memotret sekelumit dinamika, atau lebih tepatnya persoalan, yang membayangi penyelenggaraan pilkada serentak pada 27 November mendatang.
Beberapa soal adalah lanjutan dari soal-soal sebelumnya yang tidak pernah berhasil diselesaikan oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu. Pertama, penyelenggara pemilu, khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU), sedang dalam krisis kepercayaan publik, pasca putusan etik DKPP yang memberhentikan Ketua KPU Hasyim Asy’ari atas pelanggaran etik yang dilakukannya.