Oleh: Yusuf Blegur, Kolumnis
Dua kali debat capres, hanya mengumbar amarah dan penjelasan yang tak berdasar data dan fakta di lapangan.
Terperosok kubangan sejarah hitam, ia sedang mempermalukan dirinya sendiri sembari mengumumkan ke publik, bahwa kegagalan dan mungkin penyimpangan kewenangan telah menjadi kesehariannya.
Debat Capres kedua seperti menampilkan seorang pemimpin yang sarat kecerdasan sedang berhadapan dengan orang yang identik dengan kemarahan.
Ditonton ratusan juta rakyat, untuk kali kedua ada capres yang begitu emosional. Merasa dipermalukan dihadapan publik, sikap temperamen ditunjukan sebagai kontemplasi dari ketidakmampuan berdebat.
Bukan karena tidak punya kemapuan bicara di depan banyak orang, tapi memang tak lagi bisa membantah fakta-fakta yang ada hanya dengan sekedar retorika. Rekam jejak yang buruk, menempatkan sosoknya sebagai capres yang dianggap tidak punya kapasitas dan integritas.
Terlebih ketika terpojok saat capres lainnya mengangkat soal nilai-nilai dan etika kepemimpinan. Alhasil, rasa malu, serba salah dan akhirnya perilaku reaksioner yang muncul. Menahan kegeraman dan rasa kesal hingga terkesan ada murka di wajahnya.
Seketika branding gemoy yang susah payah dibangun dan dipaksakan akhirnya runtuh dalam panggung debat capres. Tak ada lagi joget-joget, tak ada lagi pasang kuda-kuda dan tak ada lagi ajakan sorak-sorai yang provokatif.