Oleh: Made Supriatma, Peneliti dan jurnalis lepas. Saat ini bekerja sebagai visiting research dellow pada ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura
Di negeri ini, sedang ada diskon besar-besaran. Bukan. Bukan diskon barang. Tapi diskon kehormatan.
Anda tidak usah bersusah payah meniti karir jadi dosen. Tidak usah susah-susah mengajar, membimbing calon-calon sarjana, menguji, dan melakukan riset-riset serius. Tapi, Anda bisa menjadi Guru Besar Kehormatan.
Itu tidak saja terjadi di dunia akademik. Masih ingat seorang yang kerjaannya ngoceh bertanya, tanpa pernah masuk akademi militer, tanpa pernah latihan bertempur, dan tidak bertempur, tapi kemudian mendapat pangkat Letnan Kolonel (tit)?
Saya harus membubuhkan kuru “tit.” Bukan. Bukan titid! Itu artinya tituler. Gelar kehormatan. Lalu mengapa dia mendapat gelar tit itu? Tidak ada yang tahu.
Yang jelas, dia memberikan interview kepada menteri yang mengurus bidang pertahanan. Tentu bukan interview yang halus, yang bikin persepsi bahwa sang menteri itu bersih dan tidak punya dosa masa lalu. Dan, sekarang ia terpilih jadi presiden.
Nah, ini satu lagi, Staf khusus sang menteri, yang orang Papua pun, diberi pangkat Letnan Kolon (tit). Entah apa pertimbangannya. Dia bukan lulusan Akmil, bukan lulusan Secaba atau Secapa. Tidak pernah berdinas di militer. Tidak mengkomando pasukan. Tidak pernah bertempur.