Oleh: Ady Amar, Kolumnis
Ada huruf yang malu menyebut dirinya sendiri.
Huruf yang berdiri di dokumen negara tanpa nama, tanpa wajah, tanpa suara.
Mereka memanggilnya Mr. J — sosok hampa yang didaftarkan sebagai Ketua Dewan Pembina PSI. Hanya satu huruf, dingin dan menggantung di udara politik, seperti teka-teki yang dibuat bukan untuk dijawab, melainkan untuk menimbulkan rasa ingin tahu yang tak kunjung datang.
Dan begitulah PSI, partai berlogo mawar merah yang kini tumbuh belalai panjang dan berubah menjadi gajah sirkus. Besar tubuhnya, tapi pikirannya melingkar di arena yang sama, menunggu tepuk tangan dari penonton yang sudah lama bosan.
Nama “J” itu disebut misterius. Tapi rakyat tak sedang kekurangan misteri.
Yang kurang justru kejujuran dan keberanian.
Sebagian berbisik, “Itu pasti Jokowi.”
Sebagian lain menebak, “Mungkin Jeffrie Geovani.”
Namun selebihnya mengangkat bahu — sebab huruf itu tak mengubah harga beras, tak menurunkan ongkos hidup, tak memberi makna apa pun.
PSI mengira sedang bermain di panggung rahasia besar, padahal yang terjadi hanyalah sandiwara kecil yang tak lucu.
Huruf “J” bukan lambang kecerdikan, melainkan pertanda betapa partai itu kehilangan arah.
Dulu PSI tampil sebagai partai muda, bersih, berani, dan bicara moral.
Kini ia sibuk memoles wajah kekuasaan, menjadi corong baru bagi suara lama.
Dulu berjanji membawa angin segar, kini menebar aroma apologi kekuasaan.
Ia bukan lagi partai ide, melainkan agen wangi-wangi politik istana.









