Porostimur.com, Jakarta – Gelombang kasus pelecehan seksual yang melibatkan figur publik dan tokoh berpengaruh kembali mencuat dan mengguncang kesadaran kolektif bangsa.
Dari ruang pendidikan tinggi, institusi keagamaan, hingga sektor layanan publik, sejumlah kasus menunjukkan pola yang serupa, yakni kekuasaan digunakan untuk membungkam, bukan melindungi.
Nama-nama yang sebelumnya dihormati justru terbukti menyalahgunakan posisi mereka, mengingatkan kita semua bahwa perlindungan terhadap korban harus menjadi prioritas utama.
Indonesia telah memiliki perangkat hukum seperti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan komitmen perlindungan melalui berbagai konvensi internasional.
Namun, keberhasilan di tingkat implementasi sangat bergantung pada keberanian, kolaborasi, dan integritas semua elemen bangsa, baik individu, institusi, maupun masyarakat luas. Melansir dari Instaram @lang.bersinergi berikut ulasan lengkapnya!
Pelecehan Seksual: Wujud Krisis Moral dan Hukum
Pernyataan “kekuasaan tanpa kontrol hanya akan melahirkan predator yang dilindungi” kini terasa sangat relevan. Kasus-kasus pelecehan yang terungkap justru dari institusi yang semestinya menjunjung tinggi nilai perlindungan, pendidikan, dan keadilan.
Menurut ahli kriminologi, Dr David Garland, menjelaskan bahwa pelecehan seksual yang dilakukan dalam konteks penyalahgunaan kekuasaan merupakan bentuk kejahatan moral ganda.