Oleh: Smith Alhadar, Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)
Tidak mudah menavigasi Indonesia di tengah pancaroba geopolitik dan geoekonomi global. Kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump, yang mengkhayalkan kemegahan (delusions of grandeur) AS kembali, menjungkirbalikkan tatanan lama berbasis liberalisme dan hukum pimpinan AS. Tak ada satu negara pun yang luput dari angin puyuh ini, termasuk Indonesia, yang ujungnya masih unpredictable.
Trump ngawur. Defisit US$ 1,2 triliun dari GDP AS sebesar US$ 30 triliun dalam perdagangan dunia tidak dilihat dari teori ekonomi sederhana bahwa penyebabnya adalah pengeluaran AS melebihi pendapatannya. Dus, solusinya adalah mengerem pengeluaran, bukan menyalahkan dunia, terutama kompetitornya (Tiongkok) yang kemajuannya tak dapat dihentikan.
Toh, kebijakan tarif, terutama tarif resiprokal, memukul ekonomi AS juga. Bisa jadi Trump justru akan dikenang sebagai Presiden yang mempercepat kemerosotan AS sebagai negara terkuat di dunia untuk digantikan Tiongkok. Kalaupun Trump berhasil membawa pulang pabrik-pabrik AS untuk menciptakan lapangan kerja domestik, Perusahaan-perusahaan AS tidak lagi akan kompetitif dan inovatif karena dilindungi dan dimanjakan negara.