Oleh: Yusran Darmawan, blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat.
Pagi itu, sebuah paket tiba di kantor redaksi. Isinya kepala babi. Basah, berdarah, dan diam. Ia dikirim bukan untuk dimakan, bukan pula untuk dipuja. Ia datang sebagai pesan. Tapi seperti semua pesan yang dikirim dengan ketakutan, ia lebih banyak berbisik daripada berteriak.
Kepala babi itu adalah metafora. Tentang kebencian yang tak mau disebut namanya. Tentang kekuasaan yang bekerja di dalam gelap. Tentang tangan-tangan yang gemetar dalam diam, karena ada sesuatu yang ingin mereka tutupi.
Di negeri ini, kebebasan selalu diuji dengan bentuk-bentuk ketakutan yang berubah-ubah. Ada masanya surat kabar dibredel. Ada masanya wartawan diancam, ditikam, menghilang. Kini, ancaman lebih samar.
Kadang datang dalam bentuk tekanan ekonomi. Kadang dalam wujud buzzer yang membanjiri dunia maya dengan kebisingan yang menenggelamkan suara-suara kritis. Atau dalam rupa kepala babi yang dikirim ke meja redaksi—sebuah cara kuno, kasar, tapi tetap mencengkeram.
Namun, sejak awal lahirnya, jurnalisme telah hidup berdampingan dengan ancaman. Ia adalah anak dari keberanian dan sekaligus sasaran ketakutan. Sejarah pers adalah sejarah tentang tekanan, sensor, dan upaya pembungkaman.