Oleh: Bito Temmar, Politisi Senior
SETELAH gagal diterima Gubernur Maluku, delapan wakil rakyat Maluku di DPR dan DPD buka suara tentang apa yang belakangan popular di masyarakat kita “proyek strategis nasional” — Maluku Lumbung Ikan Nasional (LIN) dan Ambon New Port (ANP).
Sinyalemen tentang kemungkinan gagalnya kedua megaproyek ini memang sudah lama diketahui masyarakat. Maka menjadi aneh bila kedelapan wakil rakyat kita dalam kunjungan mereka menyampaikan berita yang sebenarnya sudah diketahui publik.
Seharusnya para wakil rakyat pada periode ini memaparkan kepada publik apa yang mereka sudah lakukan di DPR dan DPD. Mestinya keempat anggota DPR menjelaskan sejauh mana mereka menggunakan fraksi-fraksi dari mana mereka berasal dalam memperjuangkan kedua proyek strategis nasional tersebut sebagai agenda politik fraksi maupun DPR.
Harusnya mereka menjelaskan seperti komunikasi dan lobi politik mereka sehingga kedua proyek tersebut benar-benar menjadi agenda politik baik komisi mau pun alat kelengkapan dewan lainnya. Hal serupa juga dilakukan oleh keempat anggota DPD kita hingga benar-benar menjadi agenda politik DPD itu sendiri. Ini penting sebab dalam politik kontemporer di negara kita, tak ada lagi yang namanya “makan siang gratis”.
Artinya, para wakil rakyat kita karena sadar bahwa power position mereka lemah karena jumlah mereka begitu sedikit untuk didengar, peran-peran politik dalam memperjuangkan kepentingan daerah ini wajib “dianyam” sebagai strategi perjuangan kolektif. Bahkan secara individual mereka harus berani passing over, memasuki area fraksi, komisi, dan alat-alat kelengkapan lain baik DPR mau pun DPD.
Heran dan lucunya, justru dalam kunjungan mereka ke Maluku bukan menjelaskan apa yang telah mereka lakukan, tapi justru mendesak komisi, baik DPR mau pun DPD agar memberi perhatian terhadap kedua megaproyek tersebut.
Di pihak lain, setelah gagal bertemu gubernur, harusnya mereka berani menjelaskan kepada publik alasan keengganan gubernur bertemu mereka.
Tetapi yang terjadi, mereka secara eufimistik dan diplomatis berharap berbagai hal yang menjadi tanggungjawab pemda terkait dengan kedua proyek tersebut menjadi perhatian untuk disegerakan penanganannya.
Jadi “buka suara” kedelapan wakil rakyat kita yang barangkali untuk pertama kali dilakukan secara kolektif ternyata bukan dipersiapkan sebelumnya sebagai bagian dari koherensi kerja kolektif strategis politik, tetapi yang saya duga sebagai spontanitas karena kegagalan bertemu gubernur.
Lebih dari itu, rasanya profil dan karakter seorang Prof. Sahetapy saatnya diadaptasi para wakil rakyat kita, jika Maluku ingin didengar dalam percaturan politik nasional yang makin lama makin angkuh dan tak lagi mengeja watak “negara budiman” yang pernah hadir dalam imajinasi perpolitikan nasional di masa lalu. (*)