Oleh: Udin, Alumni Jurnalistik Islam IAIN Ambon
Apa yang kita harapkan untuk wartawan yang doyan menerima amplop, hoax, dan menebar fitnah? Informasikah? Jelas tak mungkin. Wartawan yang sibuk mengurusi perutnya tapi lupa mengisi pengetahuannya tentang dunia kewartawanan seperti ini tidak layak dielu-elukan apalagi jadi panutan.
Wartawan model ini hanya menambah beban moral. Beban moral yang istilahkan Rusdi Mathari, mantan wartawan Tempo itu sebagai “dosa jurnalistik”. Dosa jurnalistik yang akan dipikul dan diarak bersama oleh setiap insan pers dari waktu ke waktu. Ibarat seseorang yang memikul sekarung pasir di jalan menanjak. Makin hari makinlah memberatkan, bukan?
Lalu, pertanyaannya mampukah wartawan memurnikan dosa-dosa jurnalistiknya, baik di masa lalu dan saat ini?
Dosa Masa Lalu
Jauh sebelum lengsernya Soeharto (Mei 1998), pers telah bersinggungan dengan berbagai macam dosa jurnalistik. Dosa ini disinyalir sejak TV di era Soeharto menjadikannya alat politik pemerintah ( _ideological state apparatus_ ) masif beroperasi.
TV plat merah memang telah disensor untuk merekonstruksi realitas. Iming-iming pembangunanisme era Soeharto yang terwakili lewat program “Dari Desa ke Desa” yang tayang di TVRI, berhasil mengecoh pikiran masyarakat dari kejahatan-kejahatan politiknya. Noam Chomsky di bukunya Politik Kuasa Media menyebut ini sebagai tindakan ‘pengontrolan pikiran publik’.
Wartawan di era Soeharto memang turut mendukung setiap aturan yang berlaku. Di bawah kontrol negara pada setiap lembaga pers yang berorientasi bisnis seperti SCTV dan Indosiar, misalnya. Komposisi siaran TV yang seharusnya balance sesuai klasifikasi usia masyarakat (anak-anak, dewasa, dan orang tua) justru menyimpang total (Ishadi SK, 2004).
Berbeda di era Habibie, pers saat itu mulai menemukan kebebasannya. Sejak berlaku UU Pers No. 40 Tahun 1999, deregulasi gencar dilakukan. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang bertele-tele direvisi sedemikian rupa agar lembaga pers yang berbeda secara prinsipil, (idealisme vs komersialisme) bisa lebih gampang mengatur diri.
Namun, kegamangan atas kebebasan pers di era Habibie tak dipagari rasa tanggung jawab. Hak masyarakat untuk mendapat berita bermutu, fair, dan objektif, tak jua mendapatkannya. Banyak wartawan abal-abal ditelorkan oleh lembaga pers era itu justru makin membuat kegaduhan di kalangan masyarakat atas proyeksi informasi-informasi mereka yang syarat kepentingan entah kelompok atau individu.
Hal yang mencolok dari tren pers era Habibie seperti sensasionalisme bahasa, vulgarisasi, dan erotisasi menjadi lumrah. Konstruksi judul dan isi yang menyesuaikan dengan kehendak lembaga pers menjadi gaung utama yang menghiasi jagat media. Berita seolah-olah seperti rombengan yang dijual murah di pasar pembaca dengan narasi-narasi bombastis tapi kering subtansinya (Idi Subandi Ibrahim, 2011).
Keahlian Profesional
Pers yang telah terjadi sebelum dan sesudah Orde Baru jelas menyangsikan keahlian profesional. Perekrutan wartawan yang tidak selektif adalah bentuk kelalaian lembaga pers. Mengapa? Keahlian profesional adalah salah satu barometer yang bisa mendongkrak integritas wartawan.
Menjadi ahli adalah keharusan. Walaupun sulit terbebas dari berbagai kesalahan, karena problem bisa menimpa siapa saja, termasuk si ahli tentunya, tetapi paling tidak dosa yang dibuat para ahli tidak seburuk yang biasanya dilakukan oleh mereka yang ‘sok ahli’.
Bagaimana mereka meliput peristiwa, menentukan angle berita, memilih narasumber yang sesuai dan presisi, serta taat pada aturan baku bernama Kode Etik Jurnalistik (KEJ) bisa menandakan apakah ia wartawan profesional atau abal-abal.
Budaya pembiaraan dan tak selektif ini tidak boleh dianggap sepele. Lembaga pers harus dipenuhi oleh mereka yang memang teruji di bidangnya. Kualifikasi pendidikan, bakat, dan pengalaman adalah poin penting dalam melihat sepak terjang calon-calon wartawan di lapangan. Afirmasi para kolega bolehlah dipertimbangkan selama ia loyal dan mengerti tujuan pers itu dilahirkan.
Pentingnya Deep Critical
” _Kritik, seperti hujan, harus cukup lembut untuk menyehatkan pertumbuhan manusia tanpa merusak akarnya_” -Frank Clark, pengacara dan politikus Amerika.
Wartawan pun tidak perlu sungkan melakukan autokritik pada profesinya, dalam artian kelembagaannya. Kritik yang mendalam ( _deep critical_) dalam konteks komunikasi intrapersonal umpamanya, adalah proses kesehatan mental. Orang yang terus melakukan dialog/kritik pada dirinya tentu akan mengalami perbaikan serta memiliki daya tahan banting.
Maka bagi kelangsungan eksistensial pers. Ruang bebas kritik harus menemukan polanya. Ambil contoh dalam film Spotlight (2015). Tampilan ‘kepala batu’ komplotan wartawan investigasi The Boston Globe itu melampaui batas-batas hierarki pengaruh di sebuah lembaga pers.
Mereka mengubah ruang redaksi ( _newsroom_) yang cenderung kaku, monoton, tak kerasan, menjadi arena diskursus antara redaktur dan wartawan yang membangun. Bahkan segala kepentingan inside atau outside sulit mencari celah mengintervensi ke dalam ruang yang disakralkan itu.
Toh, ruang redaksi harus bersih dari berbagai kepentingan. Logika komersialisasi sepatutnya tak boleh mendominasi dan mempengaruhi idealisme para wartawan dalam proses peliputannya.
Mengingat keberpihakan pada kepentingan masyarakat adalah tujuan pers. Lalu jika tujuan-tujuan tersebut di lain waktu melenceng jauh atau terjadi penyimpangan, seyogianya wartawan melakukan gugatan/kritik. Mereka perlu mempertegas nilai-nilai yang diperjuangkannya. Bisniskah? Kekuasaankah? Masyarakatkah?
Proses diskursus inilah yang memungkinkan profesi wartawan tetap konsisten dengan tujuan. Yang sekaligus menarik diri dari kemelut dosa-dosa jurnalistik yang telah mengakar jauh karena perbuatan tak bertanggung jawab para wartawan abal-abal sebelum dan sesudah Reformasi.
Tetapi kita juga harus mengerti bahwa tak semua wartawan berlaku serupa, namun penonjolan sisi kelam atas laku wartawan per periodenya adalah fenomena akut yang tak boleh dinormalisasi. Kritik secara inside adalah wujud pembaharuan: pembaharuan ide dan perilaku demi memurnikan dosa-dosanya di benak masyarakat.
Referensi:
SK, Ishadi. 2014. Media dan Kekuasaan: Televisi di Hari-Hari Terakhir Presiden Soeharto. Jakarta. Buku Kompas.
Ibrahim, Idi Subandi. 2011. Kritik Budaya Komunikasi: Budaya, Media, dan Gaya Hidup Dalam Proses Demokratisasi di Indonesia. Yogyakarta. Jalasutra.