Keluar Dari Kemelut Dosa Jurnalistik

oleh -318 views

Oleh: Udin, Alumni Jurnalistik Islam IAIN Ambon 

Apa yang kita harapkan untuk wartawan yang doyan menerima amplop, hoax, dan menebar fitnah? Informasikah? Jelas tak mungkin. Wartawan yang sibuk mengurusi perutnya tapi lupa mengisi pengetahuannya tentang dunia kewartawanan seperti ini tidak layak dielu-elukan apalagi jadi panutan.

Wartawan model ini hanya menambah beban moral. Beban moral yang istilahkan Rusdi Mathari, mantan wartawan Tempo itu sebagai “dosa jurnalistik”. Dosa jurnalistik yang akan dipikul dan diarak bersama oleh setiap insan pers dari waktu ke waktu. Ibarat seseorang yang memikul sekarung pasir di jalan menanjak. Makin hari makinlah memberatkan, bukan?

Lalu, pertanyaannya mampukah wartawan memurnikan dosa-dosa jurnalistiknya, baik di masa lalu dan saat ini?

Baca Juga  PELITA Batch II Harita Nickel Hasilkan 28 Pemuda Lulusan Berkualitas

 Dosa Masa Lalu 

Jauh sebelum lengsernya Soeharto (Mei 1998), pers telah bersinggungan dengan berbagai macam dosa jurnalistik. Dosa ini disinyalir sejak TV di era Soeharto menjadikannya alat politik pemerintah ( _ideological state apparatus_ ) masif beroperasi.

TV plat merah memang telah disensor untuk merekonstruksi realitas. Iming-iming pembangunanisme era Soeharto yang terwakili lewat program “Dari Desa ke Desa” yang tayang di TVRI, berhasil mengecoh pikiran masyarakat dari kejahatan-kejahatan politiknya. Noam Chomsky di bukunya Politik Kuasa Media menyebut ini sebagai tindakan ‘pengontrolan pikiran publik’.

No More Posts Available.

No more pages to load.