Dilihat dari perspektif ini, tampak bahwa motif untuk menjadi tiang utama dari orang yang pernah secara diametral bertentangan dengan mantan aktivis Kiri ini terlihat banal (dangkal). Mungkin pula tidak sedangkal itu.
Argumen lain yang disodorkan kepada saya adalah bahwa rejim ini hanya pintu masuk untuk mewujudkan ideal-ideal yang tertinggal. Dulu kita berjuang lewat jalan comberan, sekarang kita berjuang lewat jalur wangi, demikian saya kuping dari seorang mantan Kiri.
Argumen Ini juga bisa saya terima. Tidak ada yang salah menjadi wangi bukan? Asalkan parfum itu tidak mengisolasi Sodara dari bau keringat orang-orang yang dulu hendak diperjuangkan. Ah, sangat dalam dan lebar jurangnya.
Ada juga yang sengit dan nyolot ketika mendapat pertanyaan, apanya yang Kiri dari posisi Anda saat ini? “Memangnya dulu kamu ikut berjuang?” Dihadapkan pada pertanyaan begitu saya hanya bisa nyengir. Ya jelas tidak. Saya terlalu pengecut untuk itu. Lagipula saya saat itu punya kantor nyaman sebagai peneliti.
Ya ini juga saya bisa maklum. Menjadi aktivis itu seperti membuka buku tabungan untuk open donation. Perjuangan itulah berbuah saat kita menarik uangnya lewat mesin ATM. Buah yang manis bukan?
Ada juga yang berargumen bahwa tidak peduli siapa pun kucing yang diabdinya asal bisa menangkap tikus maka kucing itu patut diikuti. Saya juga bisa paham dengan argumen ini. Pengujarnya ingin menangkap tikus walau dia sendiri pernah menjadi tikus yang hendak ditangkap kucing ini.