Namun jangan salah. Dia paham persis bahwa kekuasaan tidak boleh selamanya mempertontonkan kelemahan. Sesekali ia memainkan pecut. Dia mengorkestrasi kemarahan kepada pembantu-pembantunya. Dan, tentu saja, memastikan bahwa kemarahan itu dilihat oleh publik.
Dia juga gemar bersolek dengan pakaian ala raja-raja. Masih ingat proyeksinya tentang keragaman, di mana di acara-acara kenegaraan penting dia memakai pakaian adat? Dia hampir selalu tampil dengan pakaian raja atau kepala suku. Bukan pakaian adat para jelata.
Dia tahu persis bagaimana memainkan kelemahan dan kekuatan ini. Bagaimana membuat sebuah spectacle (pertunjukan) di mana dia mendapat perhatian secara maksimal. Persis tepat dengan karakter politisi populis: narsistik!
Nah, kembali ke soal di atas. Ibukotanya jelas belum akan jadi dalam waktu 90 hari ke depan. Namun ia tidak ingin terlihat gagal.
Yang dilakukan adalah bekerja di sana. Apakah istananya selesai atau tidak selesai, namun penting bagi dia agar publik tahu bahwa dia sudah bekerja di sana!
Namun, sekaligus dia tidak ingin memperlihatkan bahwa dia bekerja dengan suasana nyaman seperti di Jakarta. Maka, secara sangat taktis, dia menciptakan pemandangan bahwa di sana tidak ada meja. Hanya kursi saja. Padahal, dengan kekuatan dan kekuasaan negara yang dia punya, apa sih sulitnya mengangkut meja ke sana?