Oleh: Virdika Rizky Utama, Peneliti PARA Syndicate dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Shanghai Jiao Tong University.
KORUPSI terus menjadi isu yang membakar kemarahan publik. Kekecewaan terhadap lemahnya pemberantasan korupsi semakin nyata ketika kasus besar seperti perkara Harvey Moeis—yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp 300 triliun—dianggap tidak mencerminkan keadilan. Vonisnya hanya enam tahun penjara.
Fenomena ini menyingkap paradoks yang mengganggu: koruptor kelas kakap seolah tak tersentuh, seperti siluman yang sukar ditangkap, sementara koruptor kecil menjadi kambing hitam untuk mempertahankan ilusi keberhasilan pemberantasan korupsi.
Fenomena ini mengungkap dua pola besar yang mencolok. Pertama, pejabat dengan indikasi kuat terlibat korupsi sering kali berhasil berlindung di bawah kekuasaan, menikmati impunitas karena kedekatan mereka dengan lingkar kekuasaan.
Kedua, oposisi politik kerap menjadi sasaran empuk untuk dikriminalisasi, dengan tuduhan korupsi dijadikan alat untuk meredam kritik.
Dalam konteks ini, korupsi telah berkembang melampaui sekadar penyakit administratif menjadi instrumen strategis bagi elite untuk menjaga hegemoni kekuasaan mereka. Ini bukan sekadar persoalan etika, tetapi ancaman serius terhadap fondasi demokrasi.