“jika benar engkau menyebutku laut
hingga ombak pun tak sanggup menghapusnya”
(dari puisi Aku Lelaki Tak Mudah Mati, 2)
“engkaulah perempuan laut itu
yang selalu membuatku terbelenggu rindu”
(dari puisi Sarsia, 47)
“aku masih saja terus merinduimu
meski engkau tak pernah tahu
betapa laut adalah kamu dengan segala ombakmu”
(dari puisi Betapa Laut Adalah Kamu, 62)
Laut Ketiga: Laut sebagai tubuh metaforik aku/kau. Di dalam antologi ini, bagian-bagian tubuh manusia dibongkar-gantikan dengan laut. Dada, mata, rambut, lengan, dan lekukan tubuh—semuanya dipertukarkan dengan laut.
“di laut tubuhmu segala kesetiaan tak lagi berwarna biru”
(dari puisi Sebab Engkau Semakin Gila Mengendarai Ombak, 17)
“di dadamu, dosa-dosa mengapung bagai buih”
…
“berebut dayung untuk mengayuh di tubuhmu”
(dari puisi Salam Paradosa, 25)
“sebab matanya adalah laut, seperti katamu suatu senja
ketika kaca-kaca buram seturut hujan yang turun di kotamu”
(dari puisi “Er Zal Geen Woord Zijn Om te Scheiden”, 57)
Baris-baris di atas dapat didekati melalui tiga jalan. Pertama, penyair mengarahkan pandangan pembaca kepada situasi tubuh yang dinamis, terus berubah-ubah. Tubuh yang menua, terluka, sembuh, dan beradaptasi. Penyair mengingatkan kembali pembaca tentang tubuh yang memiliki kehendak alami, purba, dan bukan sesuatu yang mati. Kedua, laut sebagai tubuh metaforik dapat berarti tubuh sebagai lokus terjadinya perubahan-perubahan tadi—tubuh sebagai lokasi rasa sakit dan rasa nikmat. Ketiga, laut sebagai tubuh metaforik adalah usaha lebih jauh dan nyata dari penyair untuk mengintegrasikan manusia ke dalam kosmos (sejalan dengan Laut Kedua).