Konsekuensi etik dari pandangan di atas ialah: (1) manusia dengan sadar mendorong diri menembusi kepentingan pribadi yang sempit; (2) manusia dan pengalamannya yang lokal adalah bagian dari kehidupan yang universal; (3) menyadari keutuhan dan keterhubungan dirinya dengan semua makhluk akan menumbuhkan persaudaraan semesta (empati universal); (4) pengambilan keputusan akan menyasar kebaikan hidup bersama sebagai tujuan. Daftar ini masih bisa kita panjangkan, tetapi sementara sampai di sini dulu.
Laut Keempat: laut sebagai panggung sejarah. Tidak hanya sejarah besar seperti dua belas pertempuran laut dalam puisi “Balo Lipa”, melainkan juga kejadian-kejadian setiap hari, rutinitas abadi di kampung-kampung nelayan sebagaimana tampak dalam puisi “Kepada Nelayan Tak Bernama”. Tidak semata-mata sebagai panggung narasi tunggal dan besar, laut di dalam antologi ini memunculkan ke permukaan narasi-narasi kecil yang sering sekali diabaikan dalam sejarah resmi, yakni laut sebagai panggung aktivitas sehari-hari masyarakat pesisir yang menggambarkan perjuangan eksistensial manusia. Rutinitas abadi di kampung-kampung nelayan: Melaut, melaut, dan melaut—menunjukkan kepada pembaca keterikatan antara kerja dengan pencarian atau penciptaan makna yang terjadi di dalamnya.