Laut Kelima: Laut sebagai gambaran keabadian perasaan. Di balik sesuatu yang terus berubah, ada yang tetap. Sebagai simbol untuk apa saja. Entah kesetiaan atau kebimbangan, laut dalam beberapa puisi Dino Umahuk adalah laut yang selalu ada di situ. Laut yang tak pernah pergi. Laut yang abadi. Karena itu, perasaan-perasaan dan kenyataan-kenyataan yang diwakili oleh laut tidak boleh dibaca hanya sebatas perasaan individu tertentu, melainkan sebagai perasaan-perasaan dan kenyataan-kenyataan purba yang dialami umat manusia sepanjang sejarah. Kesetiaan dan kebimbangan, juga ketenangan dan kegelisahan yang diwakili oleh laut, semuanya adalah perasaan-perasaan yang begitu purba—perasaan-perasaan yang abadi sepanjang manusia ada.
“pada ombak kesekian yang terus melemparkan gelisah”
(dari puisi “Salam Paradosa”, 25)
“maka seperti lautan aku abadi
tak mudah mati
mesti kau tikam berulang kali”
(dari puisi Aku Lelaki Tak Mudah Mati, 2)
Laut Keenam: Laut sebagai medium atau portal spiritual. Melalui pengalaman inderawi manusia dapat merasakan kehadiran sesuatu yang lebih besar dan mendalam. Berada di tengah laut luas adalah momen eksistensial di mana manusia menyadari kebesaran semesta sekaligus betapa kecil dan tidak berdaya dirinya. Meski tidak sampai melakukan deifikasi terhadap laut, bagi penyair laut memang bukan fakta alamiah semata. Pada laut dalam puisi-puisi Dino Umahuk, pembaca juga dapat melihat siklus kehidupan. Berikut ini kutipan yang saya ambil dari pengantar yang ditulis penyair sendiri: