“bukan cinta tiada di hati
tetapi hidup memang tak pasti
bagi lelaki yang hilang mimpi
laut yang biru tempatnya mati”
(dari puisi Tentang Lelaki yang Mati di Sunyi, 15)
Laut Kedelapan ini dapat dibaca juga sebagai usaha saya menjawab pertanyaan kedua, “Apa dasar dari konsistensi penulis menyelami seluk-beluk laut sebagai tema sentral karya-karyanya?”
Jawaban singkatnya ialah pengalaman mendalam penyair akan laut. Orang-orang pesisir pulau-pulau di Maluku mengalami hidup via laut. Mereka memandang laut, menyentuh laut, dan mengecap laut langsung dengan lidahnya. Mereka menceburkan diri ke dalamnya, melayarinya atau menanti di tepiannya. Mengalami laut dari jarak sangat dekat dan terus-menerus menghasilkan pengalaman unik, dan dari situ terbentuk sebuah diri yang unik pula, yakni: Cara mereka memandang hidup, mendekatinya, memaknainya, juga cara mereka mengungkapkan rasa dan pikirannya. Puisi memang memiliki hubungan erat dengan ruang di mana mereka menuliskannya. Namun, bahkan saat menulis di Jakarta sana, ombak gelombang dari lautan biru pengalamannya tetap berhasil memukul masuk ke dalam puisi-puisinya. Lihat saja di halaman 16 atau 50. Dino Umahuk tidak hanya berpuisi tentang laut. Lebih dari itu, laut telah menjadi caranya bicara tentang hidup.