Di ujung catatan panjang ini, saya ingin mengutip Dino Umahuk sekali lagi: “Dengan puisi saya berdialog dengan hidup, berkompromi dan berpikir tentangnya: menyadari bahwa saya benar-benar manusia.” Dialog dengan hidup atau dialog dengan laut yang dilakukan penyair di dalam puisi-puisinya merupakan rute memutar yang dicita-citakan berlabuh pada kesadaran diri penyair sebagai manusia. Sejauh pembacaan saya, bagi Dino Umahuk, menyelami laut menjadi sama saja dengan menyelami kedalaman tubir-tubir kemanusiaan pada dirinya. Di dalam sastra juga psikologi, laut sudah sering dipakai sebagai metafora bagi alam bawah sadar manusia. Laut mewakili misteri, kedalaman-kedalaman dan aspek-aspek tersembunyi sebuah diri. Untuk ketangguhan dan keberanian menyelami tubir-tubir itu, saya berterima kasih kepadanya.
Akhirnya, konsistensi penulis menyelami laut sebagai tema sentral karya-karya membuat kita bertanya-tanya: Adakah yang baru? Adakah yang berubah dari gambar laut dalam puisi-puisi Dino Umahuk? Kita perlu membaca tujuh buku lagi untuk menjawab pertanyaan itu. Berikut judul-judulnya: Metafora Birahi Laut ( 2008), Lelaki yang Berjalan di Atas Laut (2009), Mahar Cinta Lelaki Laut (2009), Riwayat Laut (2010), Panggilan Laut Halmahera (2011), Sebelum Laut Merebutku, Sepi (2013), Laut Maluku Lekuk Tubuhmu (2016). (*)