Oleh: Muhammad Qustam Sahibuddin, Peneliti PKSPL-LPPM IPB University
Masuknya Kepulauan Widi dalam situs Sotheby’s Concierge Auctions (8-14 Desember 2022) yang merupakan situs lelang yang berbasis di New York, Amerika Serikat petanda pulau – pulau kecil di Indonesia telah dijadikan komoditas bisnis layaknya barang mewah seperti logam mulia. Lelang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan aktivitas penjualan di hadapan orang banyak yang dipimpin oleh pejabat lelang. Artinya tidak ada aktivitas sewa-menyewa, yang ada hanya aktivitas penjualan kepada pihak yang memiliki modal. Dengan demikian pulau-pulau kecil di Indonesia sudah menjadi komoditas bisnis untuk diperjualbelikan.
Tentu hal tersebut sangat bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yaitu Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan mengancam kedaulatan NKRI.
Ocean Grabbing Pulau-Pulau Kecil
Pelelangan Kepulauan Widi kepada pihak asing merupakan bentuk perampasan (ocean grabbing) pulau-pulau kecil. Bennet et al (2015) menjelaskan, perampasan/ocean grabbing pulau kecil merupakan tindakan pengambilan kontrol, akses, dan penguasaan ruang (space) perairan laut hingga sumber dayanya (resources) dari penggunan sebelumnya (masyarakat lokal/adat) kepada pemegang hak yang lain (pengusaha/pemilik modal). Dengan begitu, pelelangan menfasilitasi terjadinya perampasan hak-hak masyarakat lokal/adat atas ruang dan sumber daya yang selama ini milik mereka. Tentunya tindakan tersebut merupakan praktik neoliberalisme terkait pengelolaan sumber daya alam, karena adanya liberalisasi pengelolaan melalui mekanisme kelembagaan, dimana hak masyarakat secara sengaja dilemahkan, diganti dengan kepemilikan pribadi (privatisasi) yang semakin menguat karena adanya dukungan pasar yang bermain (Bennet et al 2015, Knott & Neis 2016).
Bennet et al (2015) menjelaskan, perampasan dilakukan oleh lembaga publik atau aktor negara hingga kelompok kepentingan pribadi. Artinya melibatkan banyak pihak mulai dari pemilik modal, birokrat, hingga ujung tombak yang mengunggah ke situs online. Dalam kasus pelelangan Kepulauan Widi disinyalir kuat adanya keterlibatan oknum pemerintah (aktor negara) bekerjasama dengan PT Leadership Island Indonesia (LII) selaku pihak yang melelang Kep. Widi disitus online Sotheby’s Concierge Auctions.
Pemicu utama maraknya kasus penjualan pulau kecil di Indonesia karena harganya yang menggiurkan bisa mencapai ratusan milyar. Perampasan pulau-pulau kecil melalui aktivitas pelelangan/penjualan yang menimpa Kepulauan Widi bukanlah yang pertama. Dirjen Pengelolaan Ruang Laut KKP mencatat kasus pelelangan/penjualan pulau kepada pihak asing dari tahun 2007.
– Pertama, tahun 2007 Pulau Panjangdan Pulau Meriam Besar di NTB dijual melalui situs karangasemproperty.com.
– Kedua, tahun 2009 di Kabupaten Kepulauan Metawai Sumatera Barat terdapat pulau yang dijual melalui situs privateislandsonline.com, yaitu Pulau Makarobi/Pulau Siniai (14 Ha) seharga USD 4 juta, Pulau Kandui/Pulau Karangmajat (26 Ha) seharga USD 8 juta dan Pulau Siloinak (24 Ha) seharga USD 1,6 juta.
– Ketiga, tahun 2012 Pulau Gili Nanggu (12 Ha) di NTB dijual seharga Rp. 9,9 milyar melalui situs privateislandsonline.com.
– Keempat, tahun 2012 Pulau Gambar (2,2 Ha) di Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat dijual dengan harga Rp 6,8 milyar melalui situs privateislandsonline.com.
– Kelima, tahun 2014 terdapat beberapa pulau yang dijual seperti di Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat, Pulau Kumbang (6,8 Ha) dijual seharga USD 1,8 juta melalui privateislandsonline.com, Pulau Kiluan (50 Ha) di Kabupaten Tanggamus Lampung dijual seharga USD 300 ribu melalui privateislandsonline.com dan Pulau Sebayur (4 Ha) di Kabupaten Manggarai Barat NTT dijual seharga Rp 28 milyar melalui brighton.co.id.
– Keenam, tahun 2015 terdapat dua pulau yang dijual, pertama Pulau Punggu (117 Ha) di Kabupaten Manggarai Barat NTT dijual seharga USD 11 juta melalui situs skyproperty.com dan Pulau Sumber Gelap (5 Ha) di Kalimantan Selatan seharga Rp 10,5 milyar.
– Ketujuh, tahun 2018 melalui situs privateislandsonline.com terdapat dua pulau yang dijual, yaitu Pulau Bukabuka (1.200 Ha) di Tojo Una-Una Sulawesi Tengah dengan harga by request dan Pulau Ajab (30 Ha) di Kepulauan Riau seharga USD 3,3 juta.
– Kedelapan, tahun 2019 melalui situs privateislandsonline.com Pulau Dua Barat (7,84 Ha) dijual seharga Rp 243 milyar dan dua pulau di Kabupaten Pesawaran Lampung yaitu Pulau Pahawang besar (22,9095 Ha) dan Pulau Pahawang Kecil (8,742 Ha) dijual seharga Rp 50 milyar melalui Ray White.
– Kesembilan, tahun 2020 ada dua pulau dijual di Kabupaten Kepulauan Anambas Kepulauan Riau yaitu Pulau Kembung (1,2 Ha) dan Pulau Yudan (11,33 Ha) dengan harga by request melalui privateislandsonline.com.
– Terakhir tahun 2022 situs Sotheby’s Concierge Auctions hendak melelang Kepulauan Widi di Halmahera Selatan Maluku Utara.
Banyaknya kasus penjualan pulau kecil yang begitu masif di Indonesia disinyalir kuat telah menjadi sindikat mafia yang terorganisir dengan rapi serta didukung oknum elite kekuasaan serta politik (oligarki). Karena selama ini (dari tahun 2007-2022), pemerintah sepertinya tak kuasa menghentikan kasus penjualan pulau kecil yang terjadi.
Penulis berpendapat, pemerintah justru terkesan mendukung dan melegitimasi lewat kebijakatan yang dibuatnya. Pertama, pasal 17A ayat 1 dan 2 UU Cipta Kerja memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk menerbitkan perizinan berusaha meskipun alokasi ruang serta rencana tata ruang dan rencana zonasi belum ada untuk kegiatan yang ditetapkan sebagai kebijakan nasional strategis. Dalam hal ini rencana tata ruang memiliki peran yang sangat penting agar pengelolaan ruang terlaksana dengan bijaksana sehingga keberlanjutannya dapat terjaga demi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Sehingga jika kegiatan pemanfaatan yang dilakukan tanpa mengacu pada rencana tata ruang sudah tentunya berpotensi tidak sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan, yang pada akhirnya menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem yang berdampak pada masyarakat di wilayah tersebut.
Kedua, UU Cipta Kerja telah menghapus RZWP3K tingkat provinsi dan kabupaten/kota, RSWP3K, RPWP3K, RAPWP3K, dan Rencana Zonasi Rinci. Dengan dihapusnya dokumen-dokumen tersebut maka alternatif pengganti untuk mempertahankan fungsi dari dokumen-dokumen tersebut tinggal Rencana Zonasi Wilayah Pengelolaan dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang merupakan kewenangan Pemerintah Pusat.
Walaupun demikian partisipasi publik yang diwajibkan dalam penyusunan RZWP3K sudah dipastikan terkendala terkait dengan jangkauan yang semakin jauh dan sulit bagi masyarakat lokal untuk terlibat dalam penyusunan dan perencanaan di tingkat Pemerintah Pusat.
Ketiga, perubahan status zona inti pada kawasan konservasi nasional dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja telah diubah kewenangannya menjadi kewenangan pemerintah pusat, yang sebelumnya menjadi kewenangan menteri. Artinya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah memberikan wewenang seluas-luasnya kepada pemerintah pusat untuk mengubah status zona inti pada kawasan konservasi dengan alasan kebijakan nasional strategis guna kepentingan iklim usaha.
Keempat, kebijakan inventasi pulau kecil melalui konsep ekonomi biru (blue economy) yang bertujuan untuk meningkatkan kontribusi ekonomi sekor kelautan. Investrasi pulau-pulau kecil merupakan model kapitalisme berkedok ekologi (keberlanjutan). Kapitalisme yang berkedok ekologi merupakan bentuk penjajahan nyata diera saat ini, karena kita ketahui secara ideologi kapitalisme sangat bertolak belakang dengan konsep keberlanjutan. Yang ada justru masyarakat secara langsung dipaksa kehilangan akses terhadap ruang (space) serta sumber daya (resources).
Efek Domino Ocean Grabing Pulau-Pulau Kecil
Ada beberapa hal yang menjadi catatan penting terkait kasus ocean grabbing pulau-pulau kecil di Indonesia.
Pertama, kasus pelelangan/penjualan pulau-pulau kecil di Indonesia telah menunjukkan kepada kita bahwa Indonesia memiliki pengelolaan yang buruk terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal tersebut ditandai dengan sangat minimnya keterlibatan masyarakat lokal/adat dalam perencanaan pembangunan diwilayah mereka.
Kedua, terusir dan terampasnya hak hidup serta identitas masyarakat lokal/adat dari ruang dan sumber daya laut yang telah diprivatisasi oleh pemilik modal. Hal tersebut tentu berdampak terhadap sosial ekonomi kehidupan masyarakat lokal/adat yaitu hilangnya identitas dan budaya masyarakat lokal/adat karena ketidakmampuan mereka untuk bertahan.
Ketiga, tidak ada jaminan lingkungan pulau-pulau kecil aman dari aktivitas ekploitasi akibat dari perampasan (ocean grabbing) yang terjadi. Tentunya akan terjadi pembangunan, sebagai contoh di Kep. Widi terdapat zona inti seluas 8.751,78 hektare yang merupakan habitat dari 600 spesies mamalia laut serta beberapa spesies langka seperti Paus Biru dan Hiu Paus yang tentunya tidak boleh menjadi objek ekploitasi dengan dalih wisata bahari berkelanjutan namun dibeking konsep eco-capitalism.
Penjualan pulau merupakan tindak kejahatan yang terorganisir dengan rapi yang berdampak negatif terhadap sosial, ekonomi masyarakat dan lingkungan serta kedaulatan NKRI. Artinya pemerintah harus serius serta bertindak tegas memberangus praktik-praktik penjualan pulau-pulau kecil yang disinyalir kuat telah menjadi sindikat mafia. Pulau-pulau kecil bukanlah komoditas yang dapat diperjualbelikan layaknya barang merah, karena berkaitan dengan kedaulatan NKRI. Sangat miris sekali ketika pada 13 Desember 1957 Ir. Djuanda Kartawidjaja memperjuangkan kedaulatan NKRI melalui Deklarasi Djuanda, namun saat ini kedaulatan NKRI justru diperdagangkan melalui penjualan pulau-pulau kecil ke pihak asing. Pada akhirnya hari Nusantara yang diperingati setiap Tanggal 13 Desember hanya sebatas angin surga belaka dalam mengisis perjuangan Ir. Djuanda Kartawidjaja. (*)
Sumber: detikcom