Mahasiswa Unsoed: No Money No Vote

oleh -30 views

Oleh: Prof Dr Zulhasril Nasir, Guru Besar Komunikasi FISIP UI

Sesungguhnya tidak ada yang mengejutkan dari pendapat tiga dari lima mahasiswa Universitas Jenderal Sudirman, Purwokerto itu. Mereka tampak lebih jujur, berterus terang dan tanpa sungkan di hadapan dosen dan bupati Banyumas. Mereka, jangan lupa, generasi muda yang belum “tercemar”.

Seharusnya begitu. Justru, sang dosen yang memimpin itu yang “tidak jujur”, dia tidak ingin menunjukkan demokratisasi dalam ruang pendidikan. Seharusnya pak guru tidak perlu mengatakan “meskipun berbeda dengan saya” karena ini bentuk insinuasi kepada yang hadir. Pak dosen pun tidak perlu sungkan kepada Pak Bupati yang “pasti” pendukung Ganjar.

Tapi inilah kenyataan yang tidak dapat dihindari dalam demokratisasi masyarakat kita. Kenapa pula sang dosen harus sungkan dan menyatakan isyarat bahwa dia bukan memilih Anies ataupun Prabowo untuk pilpres yang akan datang. Nada suaranya tidak menjelaskan bahwa dia seorang ASN yang dilarang berkampanye. Apa ada efek kepadanya? Perlu dimaklumi dialog antarmereka adalah contoh kaum priyayi sejak dulu. Karena tidak mudah berbeda pandangan dengan yang lebih atas, maka yang bagus tentu sang mahasiswa tadi, berani berbeda dengan dosennya itu.

Apakah karena itu terjadi di Banyumas bukan di Solo atau Yogya? Bisa diurut ke sana. Ada beda antara Banyumas dengan Solo atau Yogya. Dua kota terakhir adalah “core” (inti) budaya Mataram dan Banyumas adalah “peripherial” (tepi, sekeliling). Dalam konteks komunikasi, kalangan inti lebih memilih “high contact communication” sedangkan sebaliknya “low contact communication”. Bedanya terletak pada “halus” dan yang “terus terang” tadi. Karena itu pula banyak orang yang tidak paham tentang Mataram (Jawa) dan akan selalu berbeda pada posisi ini.

Baca Juga  Gempa Magnitudo 4,5 Guncang Sanana Malut

Orang Banyumas yang di pinggir dalam sejarah kita berbeda dengan orang inti yang di pusat. Jenderal Sudirman berbeda dengan Sukarno, ia memilih Tan Malaka dan bergerilya di hutan menghadapi Belanda. Ahmad Yani, yang Banyumas beda dengan Suharto ketika di tahun 1965. Ini perumpamaan saja bahwa wong Banyumas banyak jadi serdadu dari pada priyayi.

Apakah perbedaan itu akan menurun terus ke generasi baru? Hal ini tentang budaya yang lebih cair berubah tetapi tidak mudah lenyap. Lihatlah alamnya dan budaya yg berkembang di sana, jika lebih subur maka akan lebih nyaman, dan sebaliknya jika alam dan budayanya gersang dan statis. Namun, kini orang “core” dan orang “peripherial” saling berinteraksi, saling meniru yg lebih cocok. Jadi di kalangan Mataram sejatinya berlangsung evolusi tetapi bukan revolusi.

Mereka sepengetahuan saya susah untuk berevolusi. Kalaupun berevolusi wujudnya tidak jelas. Jika masa Orla orang daerah Wonosari dikenal daerah miskin, melarat tiada tara, adalah kita saksikan waktu itu wajah mereka keras alias “segi-empat”. Saya saksikan malah di awal tahun 1980-an sebagian besar orang Wonosari masih miskin, mereka menyangkul sawah yang tanahnya kering kerontang.

Baca Juga  2.721 Warga Kepulauan Sula Terima Batuan Beras dari Badan Pangan Nasional

Tapi tetap dia lakukan menyangkul tanah yang tak diairi, karena harus makan. Astagfirullah. Namun, saya yakin orang Wonosari sekarang, apalagi perempuannya tidak lagi “segi-empat’ wajahnya tentulah sudah kotaan lancip dan ayu, seperti Ratna Sari Dewi. Orang Wonosari sudah semakin makmur dan ekosistem dan budayanya berangkat naik.

Lalu kenapa pula tiga mahasiswa tadi memilih Anies sebagai pemimpin yang akan datang?
Video tersebut tidak dapat membuktikan bahwa kelima mahasiswa itu akan juga memilih Anies. Tetapi Anies telah unggul 3 di antara 5 itu. Jadi Anies unggul dalam poling cepat ini. Saya yakin pula pak dosen tadi tidak ingin meneruskan polling untuk 2 mahasiswa itu karena justru akan memerahmukakan Pak Bupati di mata orang banyak.

Baca Juga  Roma Mendekat ke Zona Degradasi

Memanglah penetrasi medsos ke dalam lingkungan kita sukar langsung dideteksi langsung. Medsos itu ada di tangan masing- masing. Kalau di daerah Banteng saja Anies unggul tentulah suatu gejala yg menarik ketika banyak kalangan, dengan dukungan dana tak terkira, bergerak menggerogoti suara Anies dari segala arah. Saya kira ini suatu catatan penting dalam kasus-kasus pemilihan umum di Indonesia yang selama ini percaya pada “no money no vote.” (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.