Oleh: Made Supriatma, Peneliti dan jurnalis lepas. Saat ini bekerja sebagai visiting research dellow pada ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura
Kampus-kampus di Amerika bergolak. Mahasiswa berdemonstrasi di hampir semua kampus. Mereka mendirikan tenda-tenda untuk menginap. Bahkan menduduki gedung dan membuat barikade-barikade. “Revolution is in the air,” demikian seorang mahasiswa S1 menceritakan pada saya. Maksudnya, udara sudah dipernuhi dengan aroma revolusi.
Apa yang mereka proteskan? Gaza! Mereka menentang pendudukan Israel terhadap jalur Gaza, sebilah tanah tersisa untuk orang-orang Palestina, yang tersingkir karena sebagian besar tanahnya dicaplok oleh Israel.
Awal dari semua ini saya kira Anda sudah mahfum. Ia dimulai 7 Oktober tahun lalu ketika organisasi Palestina, Hamas, menyerang satu kota di perbatasan dengan Israel. Sebelumnya, sekitar 3,000 roket diluncurkan dari Gaza ke kota yang diduduki oleh Israel.
Namun serangan paling mematikan dilakukan terhadap Festival Musik Nova. Akibat serangan itu 1,139 orang meninggal dan sekitar 250 lebih dijadikan sandera dan dibawa ke Gaza.
Serangan itu ditanggapi dengan balasan oleh Israel. Negara Zionis ini membombardir Gaza, memutus jalur makanan, menghantam target-target yang seharusnya dilindungi oleh hukum internasional seperti rumah sakit dan kamp-kamp pengungsian.