Oleh: Furqan Jurdi, Aktivis Muda Muhammadiyah
SIDANG sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang sedang diperiksa Mahkamah Konstitusi (MK) sejauh ini masih berkutat pada perdebatan argumentatif.
Persidangan belum memasuki wilayah paling mendasar, berupa bukti-bukti konkret, untuk dijadikan alasan bagi MK memutuskan apakah telah terjadi pelanggaran dan tindakan yang dapat dikualifikasi sebagai terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Meskipun berdebatannya cukup bagus, namun MK tidak berpaku pada argumentasi, seindah apapun itu. Kalau tidak memiliki hubungan dengan bukti-bukti, tentu argumentasi itu akan tertolak dengan sendirinya.
Begitupun dengan bukti kecurangan kalau tidak memiliki dukungan dari kesaksian, atau bahkan tidak memengaruhi hasil, akan dikesampingkan oleh Majelis.
Kebiasaan PHPU seperti itu sudah dipraktikkan oleh MK sejak mulai menangani hasil pemilu. Bagi pihak yang kalah, tidak ada saluran lain untuk mempersoalkan hasil pemilu kecuali di MK sebagai lembaga yang diamanatkan oleh konstitusi untuk memutus sengketa hasil Pemilihan Umum (lihat ketentuan pasal 24C ayat 1 UUD 1945).
Tugas MK menyelesaikan proses sengketa tersedia hanya dalam waktu 14 hari. MK dapat menilai sengketa hasil Pemilu atau PHPU dengan bukti dan fakta yang ada dipersidangan dalam waktu yang singkat itu.