Mengapa Islam Melarang Perempuan Bersuami Lebih dari Satu?

oleh -132 views
Link Banner

Jika lelaki boleh beristri lebih dari satu, mengapa wanita tidak boleh bersuami lebih dari satu (poliandri)?”.

Pertanyaan ini kadang terbesit dibenak kita atau bahkan digembar-gemborkan oleh sebagian aktifis feminis yang mengklaim sedang memperjuangkan kesetaraan gender. Mari kita simak jawabannya.

 1. Ketentuan Dari Allah

Aturan bahwa wanita tidak boleh memiliki beberapa suami dalam satu waktu adalah ketentuan Allah Ta’ala. Tidak ada pilihan lain bagi seorang hamba yang beriman kepada Allah kecuali menaati dan menerima dengan sepenuh hati setiap ketentuan-Nya. Karena orang yang beriman kepada Allah-lah yang senantiasa taat dan tunduk kepada hukum agama. Allah berfirman,

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Hanya ucapan orang-orang beriman, yaitu ketika mereka diajak menaati Allah dan Rasul-Nya agar Rasul-Nya tersebut memutuskan hukum diantara kalian, maka mereka berkata: Sami’na Wa Atha’na (Kami telah mendengar hukum tersebut dan kami akan taati). Merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. An Nuur: 51).

Tidaklah apa yang Allah tentukan untuk hamba-Nya melainkan pasti memiliki hikmah yang besar bagi sang hamba. Namun sang hamba wajib pasrah kepada ketentuan itu baik tahu akan hikmahnya, maupun tidak tahu hikmahnya. Kaidah fiqhiyyah mengatakan:

الشَارِعُ لَا يَـأْمُرُ إِلاَّ ِبمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً وَلاَ يَنْهَى اِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً

Islam tidak memerintahkan sesuatu kecuali mengandung 100% kebaikan, atau kebaikan-nya lebih dominan. Dan Islam tidak melarang sesuatu kecuali mengandung 100% keburukan, atau keburukannya lebih dominan

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Kaidah ini meliputi seluruh ajaran Islam, tanpa terkecuali. Sama saja, baik hal-hal ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), baik yang berupa hubungan terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS. An Nahl: 90)

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa setiap keadilan, kebaikan, silaturahim pasti diperintahkan oleh syariat. Setiap kekejian dan kemungkaran terhadap Allah, setiap gangguan terhadap manusia baik berupa gangguan terhadap jiwa, harta, kehormatan, pasti dilarang oleh syariat. Allah juga senantiasa mengingatkan hamba-Nya tentang kebaikan perintah-perintah syariat, manfaatnya dan memerintahkan menjalankannya. Allah juga senantiasa mengingatkan tentang keburukan hal-hal dilarang agama, kejelekannya, bahayanya dan melarang mereka terhadapnya” (Qawaid Wal Ushul Al Jami’ah, hal.27).

Adapun dalil tentang terlarangnya poliandri, diantaranya firman Allah Ta’ala:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا * وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللّهِ عَلَيْكُمْ

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu” (QS. An Nisaa: 23-24)

Dalam Tafsir Ibni Katsir dijelaskan makna وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاء maksudnya: ‘Diharamkan bagimu menikahi para wanita ajnabiyah yang muhshanat yaitu yang sudah menikah’. Ibnu Katsir juga membawakan riwayat yang menjelaskan sebab turunnya ayat ini:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: أَصَبْنَا نِسَاءً مِنْ سَبْيِ أَوْطَاسَ، وَلَهُنَّ أَزْوَاجٌ، فَكَرِهْنَا أَنْ نَقَعَ عَلَيْهِنَّ وَلَهُنَّ أَزْوَاجٌ، فَسَأَلْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، فَنَزَلَتْ هذه الآية: {وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ} [قَالَ] فَاسْتَحْلَلْنَا فُرُوجَهُنَّ

Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata: “Kami mendapat wanita dari suku Authas yang ditawan, para wanita itu memiliki suami lebih dari satu. Kami enggan bersetubuh dengan mereka karena mereka memiliki suami. Kamipun bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam, lalu turunlah ayat (yang artinya) ‘Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki‘. Dengan itu kami pun mengganggap mereka halal dicampuri” (Tafsir Ibni Katsir, 2/256).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أَنَّ النِّكَاحَ فِي الجَاهِلِيَّةِ كَانَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَنْحَاءٍ …. وَنِكَاحٌ آخَرُ: يَجْتَمِعُ الرَّهْطُ مَا دُونَ العَشَرَةِ، فَيَدْخُلُونَ عَلَى المَرْأَةِ، كُلُّهُمْ يُصِيبُهَا، فَإِذَا حَمَلَتْ وَوَضَعَتْ، وَمَرَّ عَلَيْهَا لَيَالٍ بَعْدَ أَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا، أَرْسَلَتْ إِلَيْهِمْ، فَلَمْ يَسْتَطِعْ رَجُلٌ مِنْهُمْ أَنْ يَمْتَنِعَ، حَتَّى يَجْتَمِعُوا عِنْدَهَا، تَقُولُ لَهُمْ: قَدْ عَرَفْتُمُ الَّذِي كَانَ مِنْ أَمْرِكُمْ وَقَدْ وَلَدْتُ، فَهُوَ ابْنُكَ يَا فُلاَنُ، تُسَمِّي مَنْ أَحَبَّتْ بِاسْمِهِ فَيَلْحَقُ بِهِ وَلَدُهَا، لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَمْتَنِعَ بِهِ الرَّجُلُ

Pernikahan di masa Jahiliyah ada empat cara …(beliau lalu menyebutkannya)… jenis pernikahan yang lain (jenis ketiga) yaitu sejumlah orang yang jumlahnya kurang dari 10 berkumpul lalu masuk menemui seorang wanita. Setiap mereka menyetubuhinya. Setelah beberapa waktu sejak malam pengantin itu, jika ternyata ia hamil, ia pun memanggil semua suaminya. Tidak ada seorang pun dari suaminya yang dapat menghalangi, hingga semua suaminya berkumpul. Wanita itu berkata: ‘Wahai suamiku, kalian sudah tahu apa yang kalian telah lakukan kepadaku dan itu memang sudah hak kalian. Dan sekarang aku hamil. Dan anak ini adalah anakmu wahai Fulan’. Wanita itu menyebut salah satu nama suaminya sesuka dia, lalu menasabkan anaknya pada suaminya tersebut. Tidak ada seorang pun dari suaminya yang dapat menghalangi” (HR. Bukhari no.5127)

Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam menyifati poliandri sebagai perilaku jahiliyah. Sebagaimana dijelaskan para ulama :

كل ما نسب إلى الجاهلية فهو مذموم

Setiap perkara yang dinisbatkan pada Jahiliyyah adalah sesuatu yang tercela

Jadi, mengapa poliandri tidak dibolehkan? Jawabannya, karena Allah Ta’ala telah menentukan demikian. Satu jawaban ini sejatinya sudah cukup untuk menjawab pertanyaan tersebut bagi orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika masih ada yang penasaran lalu bertanya lagi ‘kenapa sih koq bisa-bisanya Allah menentukan demikian?‘, jawablah dengan firman Allah Ta’ala :

لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ

Allah tidak ditanyai oleh hamba, namun merekalah yang akan ditanyai oleh Allah” (QS. Al Anbiya: 23)

2. Lelaki adalah pemimpin keluarga

Islam juga mengatur bahwa lelaki adalah pemimpin rumah tangga. Allah Ta’ala berfirman:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)” (QS. An Nisaa: 34).

Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam juga bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

Setiap kalian adalah orang yang bertanggung jawab. Setiap kalian akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang imam adalah orang yang bertanggung jawab dan akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang lelaki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan akan dimintai pertanggung-jawabannya. Seorang wanita bertanggung jawab terhadap urusan di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggung-jawabannya” (HR. Bukhari 893, Muslim 1829)

Oleh karena itu, seorang istri wajib taat kepada suaminya selama bukan dalam perkara maksiat. Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam bersabda:

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ

Jika seorang wanita mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, taat kepada suaminya akan dikatakan padanya kelak: ‘Masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau inginkan’” (HR. Ahmad 1661, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’ 1/660).

Nah, jika seorang wanita memiliki lebih dari satu suami, apakah organisasi rumah tangga akan berjalan dengan banyak pemimpin? Suami mana yang akan ditaati? Bagaimana jika para suami berselisih dan memberi perintah berlainan?

3. Cobaan terbesar bagi lelaki adalah wanita, namun tidak sebaliknya

Cobaan terbesar dan terdahsyat serta paling menjatuhkan seorang lelaki pada titik terendahnya adalah wanita. Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam sering kali mewanti-wanti hal ini. Beliau bersabda:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

Tidaklah aku tinggalkan cobaan yang paling berbahaya bagi kaum lelaki selain wanita” (HR. Bukhari 5096, Muslim 2740)

Beliau Shallallahu’alahi Wasallam juga bersabda:

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا، فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

Sesungguhnya dunia ini manis dan hijau. Dan sesungguhnya Allah menyerahkannya kepada kalian untuk diurusi kemudian Allah ingin melihat bagaimana sikap kalian terhadapnya. Berhati-hatilah dari fitnah dunia dan waspadalah terhadap wanita. Karena cobaan pertama yang melanda Bani Israil adalah wanita” (HR. Muslim 2742).

Tentang godaan setan, Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا

Sesungguhnya tipu-daya setan itu lemah” (QS. An Nisaa: 76)

Namun tentang godaan wanita, Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ كَيْدَكُنَّ عَظِيمٌ

Sesungguhnya godaan wanita itu sangat dahsyat” (QS. Yusuf: 28)

Oleh karena itulah Allah Al Hakim, Yang Maha Bijaksana, mensyariatkan poligami (baca: poligini) bagi laki-laki sebagai salah satu jalan untuk meringankan cobaan dari godaan wanita. Namun sebaliknya, tidak kita dapati dalil yang menunjukkan bahwa cobaan terbesar wanita adalah godaan pria. Ini adalah salah satu hikmah mengapa poliandri tidak disyariatkan.

4. Menjaga kejelasan nasab

Dalam Islam, anak dinasabkan kepada ayahnya. Dan masalah nasab ini sangat urgen dalam Islam. Sampai-sampai mencela nasab dan menasabkan diri kepada selain ayah kandung dikategorikan oleh para ulama sebagai perbuatan dosa besar.  Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam bersabda :

مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ، وَهُوَ يَعْلَمُ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ

Barangsiapa menasabkan diri kepada selain ayah kandungnya, padahal ia tahu ayah kandungnya, maka surga haram baginya” (HR. Bukhari 4326, Muslim 63)

Sebagaimana juga hadits marfu’ dari Ibnu ‘Umar Radhiallahu’anhu:

خِلاَلٌ مِنْ خِلاَلِ الجَاهِلِيَّةِ الطَّعْنُ فِي الأَنْسَابِ وَالنِّيَاحَةُ

Diantara perbuatan orang Jahiliyyah adalah mencela nasab” (HR. Bukhari 3850)

Di antara sebabnya, nasab menentukan banyak urusan, seperti dalam pernikahan, nafkah, pembagian harta warisan, dll.

Jika satu wanita disetubuhi oleh beberapa suami, maka tidak jelas anak yang lahir dari rahimnya adalah hasil pembuahan dari suami yang mana, sehingga tidak jelas akan dinasabkan kepada siapa.

Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata: “Pernyataan ‘laki-laki dibolehkan menikahi empat orang wanita, namun wanita tidak dibolehkan menikahi lebih dari satu lelaki‘, ini adalah salah satu bentuk kesempurnaan sifat hikmah dari Allah Ta’ala kepada mereka. Juga bentuk ihsan dan perhatian yang tinggi terhadap kemaslahatan makhluk-Nya. Allah Maha Tinggi dan Maha Suci dari kebalikan sifat tesebut. Syariat Islam pun disucikan dari hal-hal yang berlawanan dengan hal itu. Andai wanita dibolehkan menikahi dua orang lelaki atau lebih, maka dunia akan hancur. Nasab pun jadi kacau. Para suami saling bertikai satu dengan yang lain, kehebohan muncul, fitnah mendera, dan bendera peperangan akan dipancangkan” (I’laamul Muwaqqi’in, 2/65).

sumber: muslim.or.id

No More Posts Available.

No more pages to load.