Oleh: M. Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya
Saat masa kepresidenannya berakhir, seorang pemimpin bangsa umumnya diharapkan untuk menjaga jarak dari politik praktis, menjadi negarawan yang dihormati, serta menjaga netralitas. Namun, dalam beberapa bulan terakhir, masyarakat menyaksikan bagaimana Presiden Joko Widodo, yang masa jabatannya telah selesai, justru aktif dalam ranah politik praktis, terutama menjelang Pilkada dan Pemilu.
Langkah ini dipandang sebagai “cawe-cawe” atau upaya memengaruhi proses politik secara langsung—sesuatu yang mengundang sorotan tajam karena terkesan bertentangan dengan ekspektasi netralitas seorang mantan presiden
Menghargai dan menghormati mantan presiden oleh presiden terpilih adalah hal yang wajar terjadi, karena memang tradisi seperti ini harus dirawat dan dijunjung tinggi. Hal inilah yang terjadi pada presiden terpilih Prabowo Subiyanto, ketika menyambangi Jokowi di Solo.
Namun menjadi sesuatu yang patut juga dipertanyakan, ketika frekwensi Prabowo ke Solo boleh dikatakan cukup sering, mengapa ini terjadi ? ada hal apa yang harus dikoordinasikan, sehingga memerlukan “koordinasi” dengan Jokowi ? inilah yang menjadi pertanyaan publik yang beredar diberbagai linimasa media sosial. Hal ini menjadi kekhawatiran publik yang akan merugikan Prabowo dikemudian hari, apalagi saat ini, Jokowi juga terang – terangan cawe cawe dalam pilgub Jawa Tengah.
.
Cawe-cawe Jokowi ini menimbulkan tanda tanya besar. Seorang mantan presiden idealnya berperan sebagai penjaga moral dan inspirasi, bukan sebagai pelaku politik yang berat sebelah. Ketika Jokowi menunjukkan keterlibatan aktif dalam mendukung atau memengaruhi kandidat tertentu, ia justru mempertaruhkan reputasi yang telah dibangun selama dua periode masa jabatannya.