“Ayo, Halima kita pulang sebelum hari gelap. Kita harus melewati hutan sebelum bunyi jangkrik memenuhi rimba raya,” kata Haji Bakar tiba-tiba sambil merangkul pundak kecil gadis itu.
Rombongan pesiar itu kembali menapaki jalan pulang, menyusuri aspal sepanjang lima kilo untuk kemudian masuk lagi ke dalam hutan, meringkas jarak sebagaimana mereka datang. Tak banyak percakapan yang terjadi sepanjang jalan pulang itu. Yang terdengar hanya derap langkah dan embusan napas yang begitu jelas memompa udara keluar-masuk kantung paru-paru. Sesekali ditimpali samar debur suara ombak kala mereka menyusuri daerah sepanjang pantai Tawiri hingga Hatiwe yang dipenuhi barisan rapi pohon kelapa. Matahari mulai turun rendah di ufuk barat langit Amboina, memancarkan sinar yang tak lagi membuat kulit ari jadi hangus.
Setelah tiba kembali di Hatiwe, mereka lantas mengambil arah utara masuk lagi ke dalam hutan. Disambut kringkingan pembuka jangkrik dan beberapa kawanan serangga hutan, mengabarkan waktu salat asar baru saja usai. Haji Bakar mempercepat langkah kaki tanpa banyak bicara pada Halima. Tak ingin ia bersama gadis kecil itu terjebak malam di tengah hutan. Mereka memang punya alat penerang untuk jaga-jaga tapi cahaya hanya akan menarik perhatian kerumunan laron yang mungkin saja bisa mengganggu laju perjalanan.