“Apa isi surat itu, Haji?” tanyanya seketika pada Haji Bakar.
“Tidak ada apa-apa, Ima. Hanya surat biasa.”
“Lalu kenapa mata haji berkaca-kaca?”
Haji Bakar tak bisa mengelak, ia tertangkap basah hendak menangis. Sekuat-kuatnya ia, sewibawa dan sematang bagaimanapun, ia masihlah manusia.
“Paman Wangsa, Ima, dia telah mati dibunuh tadi malam. Baru beberapa jam lalu, sebelum kita tiba di sana.”
Hening.
Di antara riuh jangkrik dan serangga hutan, Halima mendengar suara lain yang timbul-tenggelam, yang berusaha menyembunyikan isaknya di antara gegap gempita hewan-hewan di tengah hutan. Haji Bakar telah sembab matanya, menangis ia seperti anak kecil hingga air mata dan liurnya tumpah ruah tak terbendung. Patah hatinya mendapati kenyataan anak lelaki semata-wayangnya yang ingin dia jenguk hingga menempuh perjalanan panjang ini, telah meregang nyawa di ujung senapan perwira tentara.
Halima menatapnya sayu, tanpa berkata apa-apa. Lalu muncul bayangan bapaknya, Rahman, memenuhi isi kepala.
“Mari kita pulang, Haji. Ada ataupun tidak ada orang-orang kita cintai itu, perjalanan tetap harus kita lanjutkan, sebagaimana hidup ini,” katanya menguatkan diri sendiri.
Gadis sekecil itu.
Almin Patta menulis dan menyutradarai beberapa naskah pementasan drama dan teater. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit berjudul ‘Untuk yang Tercinta’ (2023)