“Apa yang ingin Haji sampaikan kalau bertemu dengan paman Wangsa nanti?” tanya Halima seketika membuyarkan lamunan Haji Bakar.
Agak lama Haji Bakar merenung dengan tatapan kosong ke depan. Agak-agaknya sedang sibuk menyusun kata-kata yang akan dia lontarkan menanggapi tanya Halimah.
“Haji hanya ingin melihatnya beberapa saat, menepuk pundaknya beberapa kali lalu pulang.”
“Tanpa bicara satu kata pun?”
“Iya. Tanpa bicara satu kata pun.”
Halima kehabisan kata-kata. Dibukanya bungkusan makanan yang tadi dibekali Ling, ibunya, lantas menikmati panganan itu tenang-tenang setelah menempuh perjalanan sepanjang dua belas kilo dari kampungnya di pesisir utara Pulau Ambon.
“Berapa umur kau sekarang, Ima?” tanya Haji Bakar
“Dua belas, Haji. Harusnya aku sudah kelas lima sekarang. Tapi aku dan Kasim malah dikeluarkan dari sekolah gara-gara kami dibilang anak seorang PKI.”
Bunyi serangga hutan dari atas pokok Johar nyaring bercericau berebut makan siang.
“Tapi, apa benar bapak dan paman Wangsa juga beberapa orang kampung yang kena tangkap itu termasuk PKI, Haji?
Pikiran Haji Bakar mengawang, tenang menatapi langit biru di atas kepalanya, berkata:
“Begini, Nak, mereka itu, bahkan kita semua ini hanyalah petani-petani biasa. Sekolah pun tak sampai tamat. Tahu apa kami soal partai dan politik begitu macam?”