Halima tak berkedip menyimak tuturan lelaki sepuh di sebelahnya. Kini mulai terang alasan bapaknya kena tangkap pada malam nahas itu. Kala azan subuh tengah berkumandang dari toa masjid Nurul Awal dan orang-orang sedang takzim dalam salat menghadap Rabb-nya, Rahman, Wangsa, juga Haji Bakar termasuk dalam jemaah salat fajar itu, yang kemudian hendak pulang ke rumah masing-masing tapi sayang, pulang pagi itu yang semestinya sampai di beranda rumah, tak pernah lunas sama sekali. Rahman dan Wangsa dicegat di tengah jalan oleh hampir satu peleton penuh aparat yang beberapa di antaranya tampak tak asing bagi keduanya yang tanpa ba-bi-bu langsung membekuk kedua pesakitan itu, dipaksa masuk ke dalam mobil Jeep dengan pukulan yang datang dari segala arah, kemudian berlalu tenang-tenang di tengah pagi berkabut itu membelah hutan sepanjang jalan Leihitu kembali ke dalam kota. Senyap. Sepi dan lengang.
Setelah menggenapkan makan siang yang lahap itu, Halima lantas membungkus ulang sisa perbekalannya, bersiap melanjutkan perjalanan. Masih ada jarak tempuh sekira dua puluh kilo lagi. Haji Bakar mendongak ke langit biru, berharap akan ada sedikit mendung pada siang hari yang terik ini untuk memberi mereka sedikit keringanan selama perjalanan. Ia basahi ujung jari telunjuknya dengan ludah, lantas mengacungkan jari syahadat itu ke langit, menerka-nerka dari mana arah datangnya raja klana. Angin datang dari utara, maka mereka harus bergegas agar tetap terus berada di bawah naungan awan yang bergerak searah mata angin.