Natal dan Eksotisme Rempah

oleh -360 views

Oleh: Moksen SirfefaPeminat Sejarah dan Peradaban.

Dari semua sumber kanonik, hanya Injil Matius (Matius 2:1-12) yang mengisahkan kedatangan orang Majusi dari Timur yang mempersembahkan rempah emas, kemenyan dan mur kepada Maria, ibunda Yesus.

Injil Matius tidak menyebut Timur sebagai Persia atau Babilonia. Cuma di masa itu, identifikasi Timur adalah Persia dan Babilonia. Kita baru mengetahui bahwa Timur yang dimaksud di dalam Alkitab itu bisa jadi adalah Kepulauan Rempah.

Frasa tentang Kepulauan Rempah secara umum adalah Nusantara dan secara khusus adalah Maluku. Dari sana rempah-rempah dibawa ke Persia dan Babilonia lewat para makelar rempah ke Persia dan Babilonia. Emas, kemenyan dan mur adalah rempah-rempah Asia yang dibawa orang Majusi dari Timur untuk dipersembahkan kepada Maria di Betlehem. Pertanyaannya, apakah hanya orang Persia saja yang menjadikan bintang sebagai patokan arah perjalanan? Bukankah para navigator di Melayu, Melanesia, Polinesia dan Mikronesia memiliki cara yang sama?

Injil Matius juga tidak menyebut jumlah dan jenis kelamin orang Majusi yang datang ke Betlehem. Tapi di berbagai ulasan cerita, film dan ilustrasi bahwa jumlah orang Majusi yang datang di Betlehem sejumlah tiga orang karena disesuaikan dengan persembahan kepada Maria.

Tradisi Suriah menyebut nama-nama mereka Larvandad, Hormisdas dan Gusnasaf, sementara tradisi Armenia hanya menyebutkan dua nama, yaitu Kagba dan Badadilma. Dalam tradisi Eropa, mereka sering disebut Baltasar, Melkior dan Kaspar lalu mereka digambarkan sebagai orang Asia, Afrika dan Eropa.

Origenes seorang bapa gereja yang meninggal pada tahun 245 M adalah orang pertama yang menggunakan nama-nama ini, sehingga pada abad ke-6, ketiga orang Majusi ini muncul sebagai cerita yang populer di kalangan gereja.

Bukan sesuatu yang aneh dari perilaku persembahan rempah ala tiga orang Majusi itu. Sebab persembahan rempah-rempah mewakili sebuah tradisi yang sangat kuna. Dianut secara turun-temurun dan menjadi bagian penting di dalam kehidupan manusia. Ia bahkan mewakili tradisi para Nabi.

Kemenyan, minyak resin mur (myrh, getah pohon damar dan gaharu) adalah parfum para Nabi; Sulaiman, Yusuf, Musa, Isa dan Muhammad. Di era Sulaiman (Raja Salomo) Ratu Sheba datang ke Yerusalem mempersembahkan rempah-rempah dalam jumlah yang sangat banyak.

Kitab Kejadian mengisahkan Nabi Yusuf yang dijual di pasar budak kepada pedagang keturunan Nabi Ismail, dalam perjalanan pulang menuju Mesir dari Gilead dengan unta-unta yang membawa rempah, balsam dan kemungkinan besar rempah-rempah yang sejenis yang di belakang hari persembahan oleh Ratu Sheba kepada Nabi Sulaiman.

Perjanjian Lama menyatakan “Tidak ada lagi limpahan rempah-rempah seperti yang dihibahkan Ratu Sheba (Ratu Bilqis) kepada Raja Salomo” (1 Raja-raja 10:10).

Salah satu “rempah” yang bernilai tinggi dalam persembahan itu selain emas dari Ofir adalah kayu cendana terbaik (1 Raja-raja 10:11). Ofir diyakini adalah gunung Talamau di Sumatera Barat yang dahulu bernama gunung Ophir yang dalam bahasa Sanskerta pulau Sumatera disebut Swarnadwipa alias pulau emas dimana kapal-kapal Raja Salomo mengangkut emas dari sana setiap tiga tahun sekali. Demikian pula kayu cendana terbaik yang hanya terdapat di Timur (kepulauan Nusatenggara).

Pulau emas juga identik dengan Papua yang pada tahun 1528, armada Spanyol pimpinan Kapten Alvaro de Saavedra dalam pelayaran dari Tidore ke Meksiko melewati pantai utara Papua dan menyebut pulau itu Isla de Oro, pulau emas.

Rempah (Spice) di masa lalu tidak seperti yang didefinsikan zaman kini, hanya seputar akar, kulit, batang, daun, bunga dan biji. Definsi rempah di masa lalu terdapat dalam undang-undang abad ke-6 dari suku Franka, Visigoths dan Alamannia menyebut spicarium, sebuah gudang penyimpanan barang-barang bernilai tinggi.

Di masa itu kata species secara signifikan menandakan sesuatu yang bernilai sangat sangat tinggi, istimewa, siap didistribusikan dan umumnya datang dengan jumlah yang sedikit, berbeda dengan komoditas komersil biasa atau borongan.

Baca Juga  Paul Scholes: MU Kini Tim Sampah, Banyak Pemain Malas!

Seiring dengan implikasi harga yang tinggi, kata tersebut juga mengutarakan keluarbiasaan, sesuatu yang memiliki ciri yang sangat khas. Disamping lada, cengkeh, pala, kayumanis, terdapat pula mutiara, kain linen terbaik, katun, sutera dari Cina dan pewarna ungu yang dulu dipakai oleh para senator dan kaisar namun kini mulai digunakan pula oleh para uskup.

Species juga mencakup komoditas mahal dan langka lainnya, diantaranya kulit macan kumbang, macan tutul dan singa, gading Afrika, burung yang dikirim dari Parthia (Persia) dan Babilonia, kakatua cerewet dari India dan Afrika, lapis lazuli dari Afghanistan dan kulit penyu dari negara tropis. Ada juga batu-batu permata legendaris dari Hindia, batu hyacinth, beryl, batu akik darah, carnelian, onix, intan dan permata. Yang lebih mencirikan rempah daripada fungsinya atau karakteristik botaninya adalah harganya. Di pasar, seperti halnya di dalam sebuah persepsi, rempah-rempah identik dengan kekayaan, kemewahan dan eksotisme.

Kata itu menjadi bagian dari dialek Latin Akhir dan Germania yang pada akhirnya melebur ke dalam bahasa Romawi kontemporer dan terus bertahan hingga milenium ketiga pada akarnya tidak berubah sejak akhir masa kuno; especia (Spanyol), speciaria (Portugis), épice (Prancis) dan spezia (Itali). Rempah adalah segala sesuatu yang bernilai tinggi dari jenis tumbuhan, hewan, batu mulia dan logam mulia. Pada 1170-an, William Fitzstephen melihat rempah-rempah di pasar-pasar London lalu menyajikan cita rasa yang kosmopolitan:

“Emas dari Arab, rempah dari Sabaea
Dan setanggi; senjata baja dari Scythians.
Ditempa dengan sempurna; minyak dari pohon-pohon palem yang permai
Uang tumbuh di tanah subur Babilonia;
Batu mulia dari Nil, sutera merah tua dari Cina;
Anggur Prancis, serta kulit musang, bajing dan cerpelai dari pulau nun jauh di sana, tempat tempat tinggal orang-orang Russ dan Norse.”

Jauh sebelum Nabi Sulaiman, Nabi Adam dan Siti Hawa berada di kebun rempah yang membuat mereka mabuk-kepayang lalu tergoda untuk berbuat dosa. Semua orang sepakat bahwa rempah-rempah memiliki rasa sensualitas tinggi, namun yang menjadi perdebatan adalah apakah hal ini baik atau buruk. Rempah-rempah berbau khas surga, namun pada saat yang sama ia memberi dorongan munculnya hawa nafsu; hasrat yang tak terkendalikan yang membawamu ke neraka.

Dalam puisinya tentang perang saudara yang mengakhiri Republik Romawi, Lucan (39-65 M) menekankan aroma dekadensi yang membayangi jamuan makan malam Cleopatra untuk Julius Caesar, gambaran kebusukan oriental dan perbuatan asusila yang dilakukan di sofa dengan latar belakang Sungai Nil yang teduh.

Dalam istananya yang berlapis emas, Cleopatra menyajikan segala bentuk kemewahan kepada tamunya dan tanpa malu-malu menunjukkan lekuk tubuhnya dalam balutan busana sutera (selera rendah zaman dulu!); kenikmatan, seperti kata Lucan, yang tidak pernah dilihat sebelumnya oleh serdadu Romawi yang lugu. Mereka pun takluk oleh pesona Timur.

Rempah-rempah dan dupa menjadi ciri umum beragama di awal hingga pertengahan Abad Pertengahan; berdasarkan asumsi yang bertahan lama dari teologi zaman itu, Tuhan, Kristus, Bunda Maria dan para santo serta orang suci dan orang istana yang meninggal umumnya beraroma rempah-rempah. Makna Kristus sendiri dari Bahasa Yunani Christos masih terkait dengan yang diurapi minyak rempah. Konsep ini diwariskan secara turun-temurun.

Ribuan tahun sebelum Columbus berangkat mencari rempah, bukan hanya Surga Firdaus yang beraroma rempah, melainkan juga Tuhan. Secara spiritual, Tuhan “hadir di dalam dunia kita” yakni aroma rempah, wanita dan shalat yang menjadikan Nabi Muhammad S.a.w menyukainya. Ternyata rempah-rempah (espices) yang profan duniawi bisa membawa kita pada spirit surgawi (esprits) ketika ia menjadi senyawa di dalam tradisi keperibadatan.

Jalur pertama rempah mengikuti arus pantai barat yang mengawarah ke anak benua utara hingga Gujarat, lalu melewati Ormuz di mulut Teluk Persia dan utara menuju Basra, pelabuhan tempat Sinbad memulai petualangannya. Dari sini karavan membawa rempah-rempah ke arah utara dan barat melalui Persia dan Armenia dan menuju Trebizond di Laut Hitam.

Baca Juga  Ambon Masuk Riset Kota Cerdas, Lekransy Paparkan Kesiapan Digital di ITB

Alternatifnya, perjalanan lebih mengarah ke selatan dengan mengitari sepanjang lembah Tigris dan Eufrat melalui kota oasis di gurun pasir Suriah hingga tiba di pasar Levant. Sejumlah besar rempah yang datang melalui Teluk Persia, kemudian berakhir di Konstantinopel. Sisa rempah yang tidak dikonsumsi di kekaisaran Bizantium kemudian akan dikirim ulang ke tujuan lainnya, hingga ke Skandinavia dan Baltik.

Jalur kedua menelusuri jalur yang dulu pernah dilalui armada Roma, yang sebagian besar kendalinya saat ini berada di bawah kekuasaan Arab. Dari Malabar, rempah-rempah dibawa melintasi Samudera Hindia mengelilingi tanduk Afrika dan naik ke utara, ke arah Laut Merah. Sebagian muatan diturunkan di pelabuhan Laut Merah di Jeddah.

Rempah yang tidak dibawa melalui jalan darat, akan dibawa mengikuti rute lama bangsa Romawi menuju pantai barat di Laut Merah, dimana muatan lalu dibawa melalui jalur darat menuju sungai Nil dan akhirnya dikirim ke hilir untuk pembayaran pajak, penjualan dan pengiriman kembali di Kairo sebelum akhirnya mencapai Mediterania di Alexandria. Dari manakah asal pala, cengkeh, getah gaharu (mur), cendana, bulu burung cenderawasih, emas, batu akik, dan semua kemewahan itu kalau bukan dari Timur?

Orang-orang Islam masih mempertahankan rempah-rempah dalam prosesi keagamaan dan upacara-upacara suci. Nabi Muhammad adalah mantan pengendara unta dan anggota karavan dagang ke Siriah, wilayah kekuasaan Bizantium (Romawi). Di sana ia bertemu dengan seorang pendeta Nasrani, Buhaira yang memberi kesaksian dan nubuwat kenabiannya.

Nabi terakhir ini berasal dari Mekkah, pusat pemujaan kuna yang kekuatan komersialnya terbentuk dari posisi strategisnya di tengah rute karavan Arab – yang, diantaranya membawa dupa dan dan rempah-rempah dari Yaman. Yaman sebagai negeri yang bersebelahan dengan Punt (Somalia, Eritrea, Jibouti termasuk sebagian Ethiopia kini) adalah wilayah kekuasaan Ratu Sheba yang menerima pasokan rempah-rempah dari Timur.

Perdagangan rempah antara Punt dan Alexandria terjadi karena kedua kawasan ini secara kebetulan menjadi wilayah kekuasaan perempuan, Ratu Hatseput (Firaun wanita yang merupakan generasi kedelapanbelas dari raja-raja Mesir) di utara dan Ratu Sheba di selatan.

Pemasok utama rempah-rempah untuk Ratu Sheba tentu saja dari Timur. Relief kapal layar bercadik ganda di candi Borobudur pada abad ke-8 di Nusantara barangkali menjadi petunjuk terhadap perjalanan maritim paling kuna yang pernah ada.

Pada abad-abad awal Abad Pertengahan, sumber utama Eropa akan rempah-rempah adalah pedagang Bizantium. Siria sebagai pusat perdagangan rempah era Binzantium yang pernah didatangi Nabi Muhammad menjadi pelabuhan utama bagi kawasan Mediterania. Mereka mengontrol perdagangan rempah mulai Laut Hitam hingga Barcelona serta menembus hingga ke pedalaman terjauh seperti Paris, Orleans dan Lyon. Namun kebangkitan Islam akan mengakhiri dominasi Bizantium ini.

Pada abad-abad selanjutnya pasukan Nabi Muhammad meluap dari bagian luar Jazirah Arab dalam kurun waktu beberapa dekade menduduki seluruh rute kuna dan pasar-pasar di Afrika Utara dan Levant. Ekspansi maritim dan komersial Islam tidak kalah gemilangnya.

Dalam satu abad, pedagang Islam telah menancapkan eksistensi di rute perjalanan rempah darat maupun laut, dari Malabar di timur hingga Maroko di barat. Sebuah indikasi supremasi Arab yang tidak begitu penting namun sangatlah simbolik adalah penggunaan kayu kapal Yunani yang karam di Laut Merah untuk atap Ka’bah di Mekah.

Mengendarai unta dan kapal, para pedagang dan pelaut Arab berlayar ke timur, hingga bahkan ke Cina dan Maluku. Pada abad ke-8, para pedagang Arab telah memiliki kantong bisnis sendiri di Kanton. Jauh sebelum kehadiran Nabi Muhammad, pada awal tahun 414, peziarah Cina, Fa-hsien melaporkan kehadiran para pedagang berbahasa Arab di Ceylon (Srilanka).

Selanjutnya setelah kehadiran Nabi Muhammad dari keluarga pedagang, Islam menjadi agama yang cepat berkembang karena misi dagang jalur rempah. Bisa jadi, pengetahuan tradisional Nabi Muhammad tentang kearifan Cina telah diperolehnya sebelum ia menjadi Nabi dan semakin faktual setelah seorang sahabat yang juga paman dari pihak ibu, Saad bin Abi Waqash menceritakan ihwal Cina setelah kembali ke Mekah dari muhibah pertamanya ke negeri tirai bambu itu, sehingga Nabi memfatwakan : “Carilah ilmu walau sampai ke negeri Cina”.

Baca Juga  Albian Towely Tak Konsisten saat Bersaksi di Sidang Kasus Korupsi SPPD Fiktif

Sebagai anggota kafilah dagang, Nabi Muhammad pasti mengenal dengan benar jalur perdagangan ini. Istri pertamanya, Siti Khadijah adalah janda pedagang rempah kaya dan kiranya menjadi pemasok bagi ritual asap altar dan berhala yang akan segera dipunahkan oleh suaminya itu. Dimana ada rempah, disitu ada orang Islam, sehingga jalur rempah pun identik dengan jalur syiar Islam. Suplai rempah-rempah ke Eropa praktis dibawah kendali Islam, dengan perkecualian beberapa pedagang Yahudi.

Rempah-rempah bertahan lama di gereja-gereja Timur. Gereja Koptik hingga abad ke-13 masih menggunakan minyak olesan berdasarkan Kitab Keluaran, dengan tambahan pala, cengkeh dan kapulaga.

Menurut risalah kontemporer Koptik mengenai liturgi oleh Ibnu Kabar, The Luminary of Church Services, minyak digunakan oleh para rasul dibuat berdasarkan resep yang diberikan Tuhan untuk Nabi Musa, dengan tambahan gaharu untuk mengenang rempah-rempah yang dibawa ke makam Kristus oleh Nicodemus dan Yusuf dari Arimathea.

Rempah-rempah menjadi ciri khas orang Kristen, kata pakar teologi Origen (185-253 M) dalam Exhortation of the Martys, ia mengklaim bahwa ciri utama yang membedakan seorang pagan dengan seorang Kristen adalah kehadiran dupa di altar rumahnya.

Tradisi Koptik menyebutkan bahwa para rasul meracik minyak tersebut “di ruang atas”, yang lalu mereka bawa ke empat penjuru bumi dalam misi penyebaran agama mereka.

Di masa Ibnu Kabar, persediaan baru dibuat secara rutin dengan menggunakan sisa-sisa dari persediaan lama, sehigga dipercaya bahwa minyak yang digunakan gereja Koptik masih mengandung sebagian rempah-rempah yang telah dioleskan kepada Kristus sendiri. Gereja Rusia juga masih menggunakan rempah-rempah dalam minyak sucinya.

Selama Minggu Suci, kepala Patriarki Moskow mempersiapkan persediaan selama setahun, dimana campuran minyak, anggur, bunga dan rempah-rempah diaduk, direbus dan diaring, selama tiga hari terakhir untuk mengiringi pembacaan gospel non-stop.

Tidak ada definisi tegas akan bahan-bahannya, namun campuran tipikal masih dibuat berdasarkan standar Kitab Keluaran, yaitu terdiri dari minyak zaitun, kayumanis dan kasia, dengan tambahan rempah-rempah lain seperti cengkeh, jahe dan kapulaga. Ketika minyak sucinya diracik dan diberkati oleh sang kepala patriarki, lalu dituang ke dalam wadah suci untuk didistribusikan pada otoritas keuskupan di seluruh negeri. Otoritas penggunaan rempah-rempah terentang kembali dari sejak zaman Dionysius, yang menyebutnya “aroma penuh rahmat dari beraneka ragam berkah Roh Kudus”.

Gereja Abad Perengahan menjadikan rempah-rempah dalam kegiatan misa dan tata perayaan ekaristi dan paling utama misa Malam Natal atau Malam Kudus. Karena itu rempah-rempah (espices) selalu dikaitkan dengan spiritualitas (esprits) yang mendorong bangsa-bangsa (Kristen Barat) menginvasi dunia Timur dalam rangka tiga misi utama, Gold, Gospel, Glory (3G) yang terkenal itu.

Sayangnya, umat Kristen telah banyak meninggalkan tradisi rempah mereka. Agama dideodorisasi; gagasan akan aroma dianggap tidak substansial oleh mayoritas jemaatnya. Bau-bauan rempah redup oleh gaya minimalis gereja yang putih bersih dan tekesan sepi di hari-hari biasa.

Beberapa pendeta masih menggunakan rempah-rempah bersama dengan balsam dalam persiapan pembuatan minyak suci, tetapi pada umumnya penggunaan rempah sebagai bagian dari sakramen dengan makna sakralnya makin pudar. Keyakinan akan dupa berempah dan aroma telah jauh melemah. Suasana hati tidak lagi oleh aroma rempah, tapi nada piano, pohon natal dan sinterklas yang bukan tradisi Semitik. (*)

Ciputat, 25 Desember 2022.

Simak berita dan artikel porostimur.com lainnya di Google News

No More Posts Available.

No more pages to load.