Rempah-rempah dan dupa menjadi ciri umum beragama di awal hingga pertengahan Abad Pertengahan; berdasarkan asumsi yang bertahan lama dari teologi zaman itu, Tuhan, Kristus, Bunda Maria dan para santo serta orang suci dan orang istana yang meninggal umumnya beraroma rempah-rempah. Makna Kristus sendiri dari Bahasa Yunani Christos masih terkait dengan yang diurapi minyak rempah. Konsep ini diwariskan secara turun-temurun.
Ribuan tahun sebelum Columbus berangkat mencari rempah, bukan hanya Surga Firdaus yang beraroma rempah, melainkan juga Tuhan. Secara spiritual, Tuhan “hadir di dalam dunia kita” yakni aroma rempah, wanita dan shalat yang menjadikan Nabi Muhammad S.a.w menyukainya. Ternyata rempah-rempah (espices) yang profan duniawi bisa membawa kita pada spirit surgawi (esprits) ketika ia menjadi senyawa di dalam tradisi keperibadatan.
Jalur pertama rempah mengikuti arus pantai barat yang mengawarah ke anak benua utara hingga Gujarat, lalu melewati Ormuz di mulut Teluk Persia dan utara menuju Basra, pelabuhan tempat Sinbad memulai petualangannya. Dari sini karavan membawa rempah-rempah ke arah utara dan barat melalui Persia dan Armenia dan menuju Trebizond di Laut Hitam.
Alternatifnya, perjalanan lebih mengarah ke selatan dengan mengitari sepanjang lembah Tigris dan Eufrat melalui kota oasis di gurun pasir Suriah hingga tiba di pasar Levant. Sejumlah besar rempah yang datang melalui Teluk Persia, kemudian berakhir di Konstantinopel. Sisa rempah yang tidak dikonsumsi di kekaisaran Bizantium kemudian akan dikirim ulang ke tujuan lainnya, hingga ke Skandinavia dan Baltik.