Pembuktian Berimbang dalam Sengketa Pilpres

oleh -82 views

Oleh: Albert Aries, Advokat dan Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti

SEBELUM menuliskan kolom singkat ini, buah dari kontemplasi hukum yang belakangan ini direnungkan telah mengantarkan penulis pada kisah Raja Salomo (Sulaiman), yang terkenal akan hikmat, pengertian, dan kebijaksanaanya untuk memutuskan hukum dalam mengadili umat yang besar.

Alkisah, datanglah dua orang pelacur menghadap Raja Salomo. Keduanya mengatakan mereka tinggal dalam satu rumah, dan masing-masing memiliki bayi.

Suatu malam, salah satu dari bayi tersebut tiba-tiba meninggal, dan pelacur lainnya mengambil bayi yang masih hidup, lalu mengklaim bayi itu sebagai anaknya.

Hingar-bingar pertengkaran dari kedua pelacur di hadapan Raja Salomo membuat Sang Raja memerintahkan pegawainya mengambil sebilah pedang untuk memenggal bayi tersebut menjadi dua bagian, masing-masing “setengah bagian” untuk kedua pelacur itu.

Mendengar titah Raja begitu keras, pelacur yang merupakan ibu dari bayi yang masih hidup pun berbelas kasihan dan merelakan bayinya untuk diserahkan kepada pelacur lainnya.

Sedangkan pelacur lainnya mengatakan, “supaya jangan untukku atau untukmu, penggallah bayi itu!

Bagi penulis, sebilah pedang Raja Salomo melambangkan kuasa untuk melakukan pembelahan atau pembagian beban pembuktian berimbang dalam menyelesaikan suatu permasalahan hukum, termasuk untuk Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024.

Perlu disampaikan bahwa kolom ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk membela kepentingan pihak manapun, melainkan untuk perbaikan sistem hukum dan pembuktian kedepannya.

Pinang dibelah dua

“Bagai pinang dibelah dua”, kedua permohonan dari Paslon 01 dan 03 berbarengan memohon agar Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengenai penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, mendiskualifikasi Paslon 02, dan memerintahkan KPU melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU).

Baca Juga  DPRD Minta Pemprov Maluku dan Pemkot Ambon Bereskan Polemik Pengelolaan Pasar Mardika

Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 ini terasa makin menghangat jelang liburan panjang, tentu bukan karena diikuti oleh 3 Paslon, melainkan karena Cawapres Paslon 02 yang merupakan putra dari Presiden Jokowi maju kontestasi Pilpres dengan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang begitu kontroversial.

Meski demikian, pertimbangan hukum MK melalui Putusan No. 141/PUU-XXI/2023 (hal. 43) menyatakan bahwa tidak ada pilihan lain bagi MK untuk menegaskan bahwa Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat, sejalan dengan pendirian MKMK yang memberhentikan Anwar Usman dari Jabatannya sebagai Ketua MK karena pelanggaran etik.

Uraian dalil-dalil para pemohon, mulai dari intervensi kekuasaan, nepotisme, keterlibatan aparat negara, pengerahan kepala desa, kenaikan gaji dan tunjangan penyelenggara pemilu di momen kritis, hingga penyalahgunaan bantuan sosial pun turut menghiasi lembar demi lembar dari permohonan PHPU tersebut.

Dengan model peradilan cepat (speedy trial), perkara PHPU kembali menyisakan pertanyaan bagaimana seharusnya pembuktian hukum yang ideal, berimbang, dan berkeadilan dalam sengketa pilpres untuk perbaikan sistem hukum dan pembuktian di waktu mendatang?

Pembuktian berimbang

Rasanya kita sudah sering mendengar postulat latin “actori in cumbit probatio” yang berkaitan dengan beban pembuktian (burden of proof).

Dalam perkara perdata, pihak yang mendalilkan mempunyai hak, meneguhkan haknya, atau membantah hak orang lain yang menunjuk pada suatu peristiwa diwajibkan membuktikannya (Pasal 1865 KUH Perdata).

Dalam perkara pidana, Pasal 66 KUHAP menyatakan tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, sebagai perwujudan dari postulat “actori incumbit (onus) probandi”, yang artinya siapa mendakwa wajib membuktikannya.

Postulat tersebut masih ada kelanjutannya, “actore non probante reus absolvitur”. Jika tidak bisa dibuktikan, maka harus bebas.

Hal tersulit sebenarnya bukan menentukan siapa pihak yang dibebani pembuktian, melainkan pada soal pembagian beban pembuktian yang adil dan tidak membebani pihak lainnya dengan kewajiban pembuktian yang mustahil atau sangat sulit dilakukan, sebagaimana postulat “lex neminem cogit ad vana seu impossibilia”, artinya hukum tidak mungkin mensyaratkan seseorang untuk melakukan yang mustahil dan sia-sia.

Baca Juga  Gubernur dan Wagub Maluku Terima Gelar Adat dari Majelis Latupati

Postulat lain untuk menggambarkan pembagian beban pembuktian yang seringkali menjadi masalah yuridis adalah “actori incumbit (onus) probatio, reus in excipiendo fit actor”, yang artinya beban pembuktian ada di Penggugat, tetapi ketika Tergugat menyangkal, maka beban pembuktiannya bergeser ke Tergugat untuk membantah dalil penggugat tersebut.

Pandangan serupa dikemukakan oleh Malikul Adil, yang dikutip oleh Mantan Ketua MA Subekti, yaitu: hakim yang insaf akan arti kedudukannya tidak akan lupa bahwa dalam membagi-bagi beban pembuktian, ia harus bertindak jujur dan sportif, tidak membebankan kepada suatu pihak untuk membuktikan hal yang tidak dapat dibuktikan, meski pada akhirnya bergantung pada keadaan konkret (in concreto).

Penulis berpandangan, Hakim selalu diharapkan mampu membagi beban pembuktian secara berimbang, sekalipun tidak ditentukan secara expressis-verbis.

Dengan kata lain, tidak membebani salah satu pihak untuk membuktikan sesuatu yang mustahil, sedangkan di sisi lain membuka kesempatan pihak lainnya untuk membuktikan sebaliknya, semuanya itu dilakukan dalam kerangka hukum acara dan asas kepatutan.

Legitimasi Putusan MK

Perdebatan mengenai keadilan substantif dan keadilan prosedural (hukum acara) dalam Perkara PHPU seharusnya tidak perlu dipertentangkan satu sama lain, karena yang dinilai oleh MK adalah alat-alat bukti yang diajukan ke persidangan, dengan memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain (Pasal 37 UU MK).

Selain itu, dalam PHPU dikenal asas “nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua propria”, yang artinya tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri, dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain.

Baca Juga  DBH Perikanan SBT Turun, Kepala BPKAD: Akibat Lemahnya Sistem Pelaporan Data ke Pempus

Menjadi pertanyaan, apakah tuntutan (petitum) yang diajukan oleh kedua pemohon tersebut dapat menjamin bahwa semua peserta pemilu tidak melakukan penyimpangan atau pelanggaran (baca: kecurangan), serta bagaimana kredibilitas Pemilu, misalnya jika salah satu paslon yang dinyatakan menang pemilu di luar negeri ternyata didiskualifikasi oleh MK?

Tentu penulis sama sekali tidak ingin membenarkan atau menoleransi segala kecurangan yang berpotensi dilakukan oleh seluruh peserta pemilu. Namun pertanyaannya, apakah keberatan dan pembuktian PHPU itu benar-benar dapat memengaruhi penentuan terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden menurut ketentuan Pasal 475 ayat (2) UU Pemilu?

Rencana dipanggilnya 4 pembantu presiden (menteri) untuk memberikan keterangan saksi di MK merupakan salah satu wujud dari pembagian beban pembuktian yang berimbang, sekalipun Pemerintah bukanlah “pihak” dalam PHPU Pilpres 2024, namun kehadiran para menteri itu diharapkan dapat menjelaskan pertimbangan dari diambilnya kebijakan publik, yang mungkin didalilkan beririsan dengan preferensi pemilih.

Penulis berharap dengan maksimalnya proses pembuktian yang berimbang sebagai jantung dari PHPU dapat melahirkan Putusan-Putusan MK yang legitimate, semata-mata karena telah mempertimbangkan faktor ethos (kredibilitas/etika), pathos (perasaan keadilan), dan logos (logika/alasan hukum), serta dampak dari Putusan-Putusan MK tersebut bagi bangsa dan negara, di atas kepentingan para elite.

sumber: kompas.com

No More Posts Available.

No more pages to load.