Oleh: Ija Suntana, Pengajar pada Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Sepertinya, kita perlu mempertimbangkan hasil sejumlah penelitian yang menunjukkan bahwa pemekaran daerah selama ini tidak (belum) benar-benar memperkuat otonomi daerah.
Pemekaran hanya menambah jumlah kabupaten baru, tetapi tidak banyak membantu meningkatkan ekonomi masyarakat.
Pemekaran daerah yang telah kita lakukan selama ini, umumnya hanya menghasilkan urbanisme administratif, yaitu kota dadakan yang diciptakan oleh “pena pejabat”, bukan oleh proses urbanisasi.
Artinya, suatu daerah ditetapkan sebagai kota hanya karena keputusan administratif dari pemerintah, bukan karena daerah itu benar-benar sudah tumbuh dengan aktivitas ekonomi, sosial, budaya, dan infrastruktur yang matang.
Lahirnya kota dadakan sering kali menandakan gejala “locality fever”, yaitu demam kedaerahan yang membuat sejumlah masyarakat memperjuangkan status administratif demi pengakuan eksistensial, tapi kehilangan fondasi kapasitas.
Pemekaran daerah yang kehilangan fondasi kapasitas menunjukkan paradoks demokrasi. Lahiriahnya gagasan dan aspirasi otonomi, tetapi batinnya ruang kosong tanpa pelayanan dasar yang memadai.
Beberapa daerah otonom baru tidak benar-benar mandiri secara fiskal, dan umumnya masih tetap “menjadi pengemis anggaran” dari pusat.