Peranan Perempuan Dalam Pemilu 2024

oleh -37 views
Link Banner

Oleh: Astuti Usman, S.Ag. MH, Pimpinan BAWASLU Maluku Periode 20217-2022

Pemilihan Umum bukan sekedar ritual demokrasi yang dilakukan secara berkala setiap 5 tahun sekali untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat atau pemimpin pemerintahan pada tingkat nasional dan lokal. Pemilihan Umum merupakan sistem penyelenggaraan negara yang sesuai dengan amanat konstitusi yang menentukan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD sesuai amanat pasal 2 ayat (1)  dan pelaksanaan Pemilihan Umum sesuai ketentuan pasal 22E ayat (6). Artinya rakyatlah yang memiliki kekuasaan yang tertinggi untuk menentukan kebijakan negara, untuk menentukan kepemimpinan politik yang akan mengendalikan lembaga pemerintahan (eksekutif) dan lembaga perwakilan rakyat.

Pemilihan Umum sebagai sistem penyelenggaraan negara yang demokratis menjadi urusan setiap warga Negara, baik laki-laki maupun perempuan. Demokrasi mempersyaratkan diperkuatnya dukungan terhadap nilai-nilai persamaan, kebebasan dan persaingan yang fair dalam praktek penyelenggaraan Negara. Ketentuan konstitusi yang menjamin persamaan, kebebasan dan persaingan demokratis untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan harus diwujudkan secara nyata. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 43 secara lebih konkrit menentukan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hak untuk dipilih dan memilih berdasarkan persamaan hak merupakan perintah Undang-Undang yang harus dipatuhi. Artinya peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Pemilu wajib menjamin hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak sipil dan politik. Hambatan bagi partisipasi perempuan dalam kehidupan politik tidak boleh ditolerir, karena dapat menghambat pertumbuhan kesejahteraan keluarga dan masyarakat dan mempersulit perkembangan potensi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Hak Politik

Hak politik perempuan pada dasarnya adalah hak asasi manusia, dan hak asasi manusia merupakan esensi dari kerangka demokrasi. Sehingga melibatkan perempuan dan laki-laki di dalam proses pengambilan keputusan menjadi syarat mutlak dalam demokrasi. Dalam teori ini sesungguhnya tidak lagi ada dikotomi perempuan – pria. Tapi pada kenyataannya hak perempuan masih dipolitisir dan di mobilisasi atas nama demokrasi.

Kebijakan-kebijakan politik harus pula dilihat dari perspektif gender. Kalau di dalam praktiknya partai politik menjadi hambatan budaya yang luar biasa terhadap peran formal politik perempuan, maka perlu adanya quota bagi perempuan di setiap partai politik.

Dengan terpenuhinya quota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen minimal ada dua gejala yang dapat ditimbulkan dari ekses tersebut. Pertama,, adanya kesungguhan perempuan untuk berupaya mau terjun ke dunia politik, minimal mewakili atas nama partai politik. Selain itu, kesadaran perempuan itu sendiri bahwa politik adalah bidang kebijakan kenegaraan yang mengatur arah dan tujuan negara, sehingga proses pengambilan kebijakan dapat dilakukan secara politis oleh semua komponen bangsa termasuk perempuan. Kedua, kesadaran masyarakat untuk memberikan kesempatan kepada perempuan untuk tidak saja memilih tetapi juga dipilih. Hal ini tentu akan lebih banyak memberikan peluang kepada perempuan untuk berkiprah di bidang politik. Jadi adanya ketentuan quota 30 persen dalam Undang-Undang Pemilu menunjukan kemajuan untuk memberi arahan agar benar-benar ada upaya partai politik meningkatkan keterwakilan perempuan di (struktur) partai, parlemen dan di lembaga penyelenggara pemilu.

Dengan disahkannya Undang-Undang Pemilu yang menyepakati quota 30 persen untuk calon perempuan di legislatif, peluang perempuan untuk berkiprah di dunia politik praktis telah terbuka lebar. Atas dasar inilah maka kemampuan politik Indonesia akan menjadi semakin kompleks dan sempurna. Kompleks karena proses pengambilan kebijakan/ keputusan politis semakin beragam. Masuknya kaum perempuan akan menambah khasanah berpikir bagi pengambilan keputusan. Sempurna, sebagaimana diketahui bahwa penduduk Indonesia 51 persen lebih adalah perempuan, artinya keterwakilan perempuan dalam menyuarakan hak politiknya menyebabkan komposisi dan proporsi telah sempurna karena melibatkan segenap komponen bangsa.

Peningkatan Kuantitatif

UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memberikan dukungan untuk terlaksananya affirmative action dalam rangka meningkatkan peranan perempuan di bidang partai politik. Ditentukannya 30% pengurus partai politik di semua tingkatan harus diisi oleh perempuan dan 30% calon anggota legislatif juga diisi oleh perempuan dengan jaminan penempatan pada nomor urut sangat menentukan keberadaan partai politik, dimana pada urutan nomor urut pun penempatan perempuan sangat diperhitungkan, sehingga sangat memberi peluang kepada peningkatan peranan perempuan secara kuantitatif. Tetapi hal tersebut sangat menjamin calon anggota legislatif dari kalangan perempuan akan benar terpilih, karena penetapan calon berdasarkan suara terbanyak bukan lagi dalam penetapan calon terpilih berdasar nomor urut tapi berdasar suara terbanyak. Artinya

Ketentuan Undang-Undang tersebut diperlukan sebagai sarana perubahan sosio cultural menuju persamaan gender dalam kehidupan politik. Hukum sebagai sarana perubahan sosial diharapkan mampu mengubah pola peranan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat yang masih diwarnai oleh ciri-ciri suatu masyarakat tradisional paternalistik. Dalam masyarakat tradisional semacam itu perempuan diberi peran untuk tugas-tugas yang perlu kesabaran, kehalusan perasaan, sehingga peran mereka terutama mengasuh anak, memasak, menjadi bidan/perawat. Sedangkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih menantang dianggap dunianya laki-laki seperti menjadi tentara, bupati atau pemimpin partai. Secara bertahap sejak reformasi perubahan sosio cultural menuju persamaan peran laki-laki dan perempuan di dunia politik sudah mulai terjadi. Walaupun Secara kualitatif peranan perempuan belum mengalami peningkatan signifikan.

Sejumlah partai politik memberi peran strategis kepada kaum perempuan dalam kepemimpinan partai politik. Tetapi lebih banyak yang memberi peran figuran untuk sekedar memenuhi formalitas yang ditentukan undang-undang perempuan lebih kurang ditempatkan pada posisi sekretaris, bendahara atau peran-peran yang terkait dengan konsumsi, dan kesenian. Dalam daftar calon legislatif yang diserahkan kepada KPU, sebagian partai politik berusaha memenuhi batas minimum kuota perempuan. Karena langkanya kader perempuan yang dimiliki tidak jarang aroma nepotisme dalam rekrutmen calon anggota legislatif sulit dielakan. Soal kualitas calon perempuan masih menjadi tanda tanya, karena tidak sedikit partai politik yang belum sempat menempa kader-kader srikandi yang mempunyai untuk ditampilkan sebagai wakil rakyat yang cerdas, trengginas mampu menangkap aspirasi rakyat dan paham lika-likunya politik.

Peran Tak Jauh Berbeda

Untuk kepemimpinan di bidang pemerintahan pada pemilu 2019 nanti, peran perempuan tidak jauh berbeda dari peran mereka dalam kepemimpinan partai politik dan calon anggota legislatif. Peran perempuan dibidang pemerintahan merupakan refleksi dari kualitas peran mereka dalam kepemimpinan partai politik dan dalam lembaga legislatif. Untuk meningkatkan kualitas peran perempuan dalam pemilu 2019 nanti, diperlukan komitmen, yang kuat dikalangan elit politik untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan amanat UUD 1945 dan ketentuan undang-undang yang menjamin perusahaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan didepan hukum dan pemerintahan.

Sementara itu kaum perempuan perlu mengkonsolidasikan potensinya, menggalang dukungan untuk meraih simpati dan secara sistematis menempa diri agar memiliki kapasitas, kapabilitas serta akseptabilitas untuk memainkan peranan lebih besar dalam kancah politik demi kesejahteraan seluruh rakyat. Urusan politik dalam negara demokratis adalah urusan laki-laki dalam negara demokratis adalah urusan laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama untuk membangun bangsanya.

Sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia telah mencatat nama-nama perempuan yang turut andil dalam aktivitas politik. Perjuangan fisik melawan penjajah telah mengabadikan nama-nama seperti Cut Nyak Dien, Martha Tiahahu, Yolanda Maramis dan sebagainya. Dalam pergerakan nasional muncul nama Rasuna Said dan Trimurti. Sedangkan RA Kartini dan Dewi Sartika, telah terpahat nama-nama mereka sebagai orang yang memperjuangkan hak-hak wanita untuk memperoleh pendidikan yang setara dengan pria.

Era Orde Baru telah melempangkan jalan bagi para wanita untuk aktif berkiprah dalam segala aspek kehidupan termasuk politik. Berbagai bentuk perjuangan politik telah digeluti para wanita, seperti parlemen, kabinet, partai politik, LSM, dan sebagainya. Drs. Arbi Sanit dalam seminar “Peranan perempuan dalam Pesta Demokrasi 1997” yang diselenggarakan oleh Fatayat NU dan Harian Republika menyatakan meski secara kuantitatif jumlah perempuan Indonesia lebih banyak dibandingkan pria, perkembangan posisi dan peran politik perempuan Indonesia amatlah lamban. Secara kualitatif, perempuan Indonesia belum secara proporsional mempengaruhi dan menentukan proses dan produk politik Indonesia. Selanjutnya Dosen FISIP UI ini mengungkapkan data perkembangan jumlah perempuan dalam parlemen. Di DPR porsi perempuan meningkat dari 6,25% pada tahun 1955 menjadi berturut-turut 7,17% pada tahun 1971, 8,48% pada tahun 1977 dan 9,35% pada tahun 1982. Dan pada tahun 2014 12,48%.

Terlepas dari suara-suara yang menyimpulkan bahwa jumlah perempuan yang berkecimpung dalam politik masih terlalu sedikit, perlu kita cermati apa sebenarnya peran yang mereka mainkan. Setiap orang yang ingin dirinya maju (apalagi menginginkan bangsanya maju) harus memiliki kesadaran politik. Dengan demikian ia akan menyadari apa yang harus diperbuat dan apa yang harus diberlakukan untuk dirinya dan bangsanya.

Untuk itu dimanapun kita berkiprah, di situ pula kita harus menyadari bahwa dalam memandang setiap masalah harus dipandang secara integral, secara sistem. Kita pun tidak perlu terjebak pada budaya politik yang ada yaitu kita tidak perlu terpaku pada perjuangan untuk menduduki posisi tertentu (penentu kebijakan) dalam menyuarakan aspirasi perempuan. Dengan catatan, para PEREMPUAN punya visi tertentu yang melatarbelakangi terlibatnya mereka dalam aktifitas politik.

Dua Agenda Besar

Minimal ada dua agenda besar yang harus dilakukan oleh perempuan Indonesia untuk dapat terlibat secara aktif dalam menghadapi Pemilu 2019 mendatang.

Pertama, pendidikan politik untuk perempuan. Seperti kita ketahui hak politik perempuan adalah menjadi tujuan perjuangan perempuan Indonesia. Program politik perempuan adalah mendorong perempuan untuk mau berkecimpung dalam dunia politik praktis. Pandangan bahwa dunia politik adalah dunia laki-laki harus segera didekonstruksi menjadi bahwa dunia politik adalah strategi perjuangan untuk memajukan dan memakmurkan negri, jadi setiap komponen bangsa berhak untuk turut serta termasuk perempuan. Perempuan harus menjadi garda terdepan dalam mensukseskan pemilu 2019 baik sebagai peserta pemilu, sebagai pemilih maupun sebagai pengawas partisipatif dalam mengawal pemilu guna tercapai tujuan pemilu yang bersih dan bermartabat.

Kedua, advokasi kepada partai politik. Advokasi bertujuan agar setidaknya masing-masing partai politik memiliki keterwakilan perempuan di dalam sistemnya. Quota perempuan sebagaimana yang diharapkan semula dalam undang-undang partai politik telah gagal. Kemudian pada tanggal 31 Maret 2008 disahkan UU Pemilu. Nilai krusial dari undang-undang tersebut adalah diakomodirnya rumusan quota 30 persen bagi perempuan. Dalam pasal 248 UU Pemilu disebutkan bahwa KPU/KPUD melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

Berbagai regulasi telah disepakati dan setelah itu dirubah dan disepakati lagi begitulah sistem regulasi di Indonesia, bulan mei 2012 rapat pimpinan partai polotik membahas tentang keterwakilan perempuan pada kepungurusan partai politik akhirnya disepakati, apabila partai politik yang tidak melibatkan keterwakilan perempuan cukup dengan mengisi fomulir F12 yang d sediakan oleh penyelenggara pemilu, hal ini menunjukkan bahwa lemahnya regulasi tentang keterwakilan perempuan 30% dalam kepengurusan partai politik.

Advokasi kepada partai politik juga bertujuan untuk memberikan suport kepada partai politik agar tidak lagi terjadi diskriminasi gender dalam merekrut calon anggota legislatif. Prioritas yang harus dilakukan adalah meningkatkan kapasitas perempuan yang aktif di partai politik, agar mampu dan siap menjadi anggota legislatif.

Dalam menyongsong Pemilu Serentak tahun 2024 politisi perempuan harus mampu menempatkan diri sebagai garda terdepan dalam mengaksentuasikan gerakan sadar politik kepada masyarakat. Sebab meskipun proyek tersebut telah menjadi peran strategis partai politik, akan tetapi peran tersebut tidak dijalankan secara optimal oleh partai politik. Oleh karenanya perempuan dalam institusi politik menjadi suatu keharusan untuk membidangi lahirnya gerakan perempuan yang sadar politik. Semoga (*)

Ambon, 15 Maret 2023

No More Posts Available.

No more pages to load.