Pendapatan iklan yang susut belum pulih signifikan. Akibatnya ada perusahaan pers tak mampu menggaji wartawannya.
Isu upah layak wartawan ibarat jauh panggang dari api. Bahkan ada pula yang tidak mampu membayar tagihan listrik dan internet.
Sebelum Covid-19, masih bisa ditemui wartawan yang ditugaskan rangkap, mencari berita sekaligus mendapatkan iklan.
Situasi menyedihkan ini semakin susah hilang karena media benar-benar “haus” pendapatan agar bisa menggerakkan roda perusahaan.
Mirisnya, target itu sulit diwujudkan karena perusahaan swasta juga belum pulih sehingga mengurangi pengeluaran iklannya.
Praktik wartawan amplop juga semakin sulit lenyap. Di beberapa daerah, praktik semacam ini bahkan difasilitasi dan cenderung dimaklumi.
Selama Covid-19 memang pernah ada insentif pemerintah bagi perusahaan pers lokal berupa penghapusan pajak, penangguhan pembayaran premi BPJS, hingga prioritas mendapatkan kue iklan penanggulangan Covid-19.
Google News Innitiative juga pernah memberikan bantuan ke 180 media Indonesia terdampak Covid-19 dengan seleksi ketat. Namun, insentif yang diberikan tidak dalam waktu yang lama. Lagi pula, tidak semua media mendapatkannya.
Sumber pendapatan yang bisa diharapkan dan menjadi dominan adalah iklan yang berasal dari APBD. Pemerintah daerah menggelontorkan anggaran ini ke perusahaan pers melalui iklan kerjasama.