Oleh: Widdy Apriandi, Peneliti Data Desa Presisi, Mahasiswa Pasca-Sarjana IPB University
SELAIN iklan-iklan komersial di sepanjang jalan, momentum mudik Lebaran tahun ini turut dimeriahkan oleh spanduk, billboard dan/atau media kampanye lain bakal calon kepala daerah.
Di antara euphoria kangen-kangenan, kita dipaksa untuk tahu: bahwa agenda tahun politik masih terus berlanjut.
Lebaran tak ayal seperti jeda kebersamaan sejenak, sebelum nanti kembali terpolarisasi–sesuai pilihan aktor yang didukung.
Jujur saja, kehadiran baliho, spanduk, billboard, dan instrumen kampanye lain yang bermotif sejenis sesungguhnya mengecewakan.
Sebagai bentuk manuver politik, instrumen-instrumen tersebut mewakili sandaran logika yang terus berulang di tiap gelaran Pemilu. Yaitu: kultus popularitas.
Wajah bersolek ditampilkan sebagai eksposur, berikut–tentu saja–penekanan (emphasize) ihwal niat pencalonan.
Selebihnya, ‘basa-basi’ komunikasi publik sesuai momentum. Khusus momen Lebaran, tertulis besar-besar ucapan “mohon maaf lahir batin” beserta title “calon kepala daerah” yang tidak boleh dilewatkan.
Minim substansi
Sebagai alat pendongkrak popularitas, misi yang paling penting adalah memantapkan pengenalan diri. Pokoknya, pesan inti tersampaikan: “bahwa saya mencalonkan diri dan Anda pada waktunya akan memilih saya.”