Politik di Spice Islands

oleh -50 views

Di era demokrasi saat ini, perilaku kesalehan pribadi dan sosial merupakan mujarobat elektabilitas yang paling ampuh. Tetapi seperti perilaku politik yang ekstrinsik (didatangi jika dibutuhkan), kesalehan “kuli-kuli aer” (surface piety) atau kesalehan simbolik ini selalu memakan banyak korban.

Oleh: Moksen Sirfefa, CEO Institute of East Greater Indonesia

Baru membaca secara acak beberapa lembar buku Roger Crowley, Spice (the 16th Century Contest that Shaped the Modern World, Yale University Press, 2024) ini tiba-tiba pikiran saya tertuju pada dinamika politik lokal di Spice Islands akhir-akhir ini yang hanya berorientasi target-target pragmatis dan temporal.

Sudah lima abad kolonialisme dan imperialisme meninggalkan jejaknya di Spice Islands (Maluku Utara), tetapi gaung kebesaran negeri rempah-rempah ini terus menjadi perhatian para peminat peradaban untuk mengulik sisi-sisi lainnya. Salah satunya Crowley yang oleh Peter Frankopan (penulis Silk Roads) sebagai orang yang memiliki otoritas penuh bakat.

Baca Juga  Optimalkan Pelayanan, Pelni Tambah 3 Kapal di Maluku

Kepulauan ini telah menjadi laboratorium evolusi. Keanekaragaman spesiesnya yang menakjubkan itulah yang mendorong Kepulauan Maluku masuk dalam sejarah dunia. Lima pulau vulkanik mikroskopis – Ternate, Tidore, Moti, Makian dan Bacan – adalah satu-satunya tempat di planet ini dimana pohon cengkeh tumbuh. Empat ratus mil ke selatan, beberapa pulau lainnya — Banda — merupakan sumber pala yang unik. Buah dari tanaman rempah itu membawa wilayah yang aslinya bernama “Maluku” (menurut Graham E. Fuller, dalam A World Without Islam(2012) adalah kosa-kata Arab) ini mendapat gelar Spice Islands dalam wacana perdagangan rempah-rempah.

No More Posts Available.

No more pages to load.