Tapi cita-citra Prabowo menjadi presiden tercapai. Apakah cita-cita inilah yang membuat ia bersedia mengamini semua hal buruk yang dilakukan Mulyono? Sangat mungkin. Harus kita akui, pasca reformasi 1998, pilpres 2024 merupakan pilpres terburuk. Mulyono mengerahkan semua sumber daya negara untuk memenangkan Prabowo, berpasangan dengan Fufufafa yang telah menghina Prabowo dan keluarganya di luar batas budaya. Dari luar, kita melihat Prabowo menoleransi skandal ini. Tetapi sebagai tokoh yang sangat bangga pada diri dan keluarganya, mestinya perbuatan Fufufafa tak dapat dimaafkan.
Memang, andaipun Prabowo punya niat untuk menyingkirkan Fufufafa, setidaknya hal itu sulit dilakukan sekarang dalam konteks keamanan dan masih kuatnya pengaruh Mulyono di kabinet dan berbagai institusi strategis negara. Atau, bukan tidak mungkin pandangan Prabowo terhadap Mulyono telah berubah secara fundamental. Artinya, Prabowo sungguh-sungguh melihat Mulyono sebagai negarawan, yang program pembangunan dan pikirannya layak diikuti. Kalaupun demikian, mestinya ia tetap menarik jarak dengan Mulyono yang sedang dihujat untuk menampilkan dirinya sebagai presiden yang berwibawa dan independen.
De facto, hari ini Prabowo justru semakin tak terfahami. Ia adalah sosok enigma: seseorang yang asing atau misterius dan sulit untuk difahami atau dijelaskan. Ia merekrut kembali sebagian menteri kabinet Mulyono yang integritas dan kompetensinya dipertanyakan, serta ditengarai terlibat korupsi. Di pihak lain, Kejaksaan Agung justru menjadikan mantan Menteri Perdagangan (2015-2016) Tom Lembong sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Pesan yang ingin disampaikan pemerintahan Prabowo adalah ia sungguh-sungguh berkomitmen memberantas korupsi. Juga mungkin sebagai penggentar bagi para pembantunya.