Oleh: Muhammad Aqshadigrama, Analis Politik FISIP UIN Jakarta
Presiden Jokowi sampai saat ini, belum ada menyatakan secara eksplisit akan mendukung salah satu pasangan yang akan bertarung pada Pemilu 2024. Tetapi, terpilihnya Gibran Rakabuming Raka (putra sulung Presiden Jokowi) sebagai calon wakil presiden yang akan mendampingi calon presiden Prabowo Subianto dalam pemilu tahun depan dinilai menimbulkan keretakan hubungan Jokowi dengan PDIP sebagai partai pengusungnya, utamanya Megawati.
Retaknya hubungan ini tidak hanya terjadi pada tingkat elite saja. Pada level grassroot permainan manuver politik Jokowi juga telah berhasil memecahkan salah satu suara relawan politik terbesar di Indonesia, Projo. Projo yang dikenal sebagai akronim dari Pro-Jokowi merupakan organisasi kerelawanan politik untuk mendukung Jokowi sebagai presiden Republik Indonesia.
Lahirnya entitas kelompok ini memang tidak terlepas dari sosok Jokowi yang menjadi figur utama dan menjadi alasan mengapa kelompok relawan seperti ini hadir. Tetapi sekarang, mengapa relawan ini dapat terpecah dan saling bersimpang jalan? Padahal sosok utama Jokowi masih ada dan seharusnya bisa menjadi satu komando?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sesaat setelah Jokowi menyatakan jangan terburu-buru menentukan pilihan calon presiden dalam acara Projo, petinggi Projo bergegas menemui Prabowo dan segera menyatakan dukungan padanya. Padahal, Jokowi tidak ada memberikan dukungan secara jelas pada salah satu pasangan.
Patron-Klien
Pada dasarnya organisasi relawan terbentuk untuk mendukung seseorang maju dalam pemilihan pemimpin, baik di tingkat nasional maupun lokal. Ia ada karena ada konteks pemilihan. Gerak dari organisasi ini bukan ideologis; ia hanya bersifat momentum dan temporal. Setelah pemilihan selesai, tidak ada urgensi sebuah kelompok relawan untuk tetap eksis. Tujuannya sudah selesai, alasan eksistensinya tidak ada lagi.
Oleh sebab itu, justru karena sifat dari organisasi ini hanya sementara, maka kelompok ini meskipun disebut sebagai organisasi relawan, sebetulnya orang-orang yang tergabung di dalamnya itu tidak benar-benar sukarela untuk menjadi relawan. Butuh sumber daya untuk mengorganisasi.
Biasanya sumber daya itu ada karena sumbangan atau alokasi dana sosialisasi yang didistribusikan dari tim kandidat atau politisi yang akan maju dalam kontestasi pemilu (patron) kepada para pemilih atau pendukung (klien). Hubungan yang terjadi berupa patron-klien.
Relasi patrimonial-klientelisme dan kekuatan personal sering diandalkan sebagai legitimasi politik. Karena itu, relawan yang mengatasnamakan diri pendukung seseorang yang tidak maju dalam pemilihan dan masih eksis sebetulnya adalah fenomena yang aneh. Sebab, Jokowi tidak akan lagi menjadi presiden mendatang. Pemegang sumber daya ke depan bukan lagi ada pada Jokowi.
Sementara, relawan Ganjar, Prabowo, Anies, Erick, atau relawan tokoh-tokoh lain yang akan maju dalam pemilihan jauh lebih masuk akal karena memang ada tujuannya, bertarung memenangkan sang kandidat atau tokoh. Dengan begitu para relawan (klien) yang terlibat dalam pendukungan capres ini pasti ke depannya mengharapkan imbalan, baik berupa jabatan, proyek, dan sebagainya, apalagi pasangan yang didukungnya berhasil memenangkan pemilu.
Dengan demikian relawan Jokowi sekarang ini tidak lagi semestinya ada. Karena, Jokowi tidak lagi maju dan memang tidak bisa maju dalam pemilihan. Alasan keberadaannya dalam kehidupan yang fana ini tidak ada. Landasan pendukungan Projo kepada Jokowi bukanlah yang bersifat cita-cita ideologis. Lantas, mengapa terpecahnya relawan Projo ke kubu pendukung Ganjar-Mahfud MD dan Prabowo-Gibran masih menggunakan nama embel-embel “Jokowi” dalam gerak politiknya?
Citra Hegemoni
Nama Jokowi saat ini dinilai masih memiliki kekuatan, bukan hanya pengaruh dalam menentukan peta politik, melainkan pengaruh ke depannya, terlebih apalagi ketika anak Jokowi berhasil menduduki posisi sebagai wakil presiden. Tentu, ada legacy yang ditumpahkan oleh Jokowi kepada anaknya, terutama untuk meneruskan agenda-agenda yang sudah dibangun olehnya selama menjabat sebagai presiden.
Adapun sejumlah kelompok yang mengatasnamakan relawan Jokowi paling mungkin sebenarnya bukan lagi relawan untuk mendukung Jokowi menduduki posisi tertentu. Melainkan, lebih kepada untuk memanfaatkan citra hegemoni yang sudah dibangun oleh Jokowi itu sendiri. Mereka kemungkinan besar muncul untuk mendukung calon-calon yang ada tapi mengatasnamakan relawan Jokowi.
Atas dasar itulah, relawan Projo masih menggunakan nama Jokowi. Keberhasilan membangun hegemoni selama menjabat semakin menjadikan Jokowi sebagai sosok yang powerful. Keadaan seperti ini yang dinyatakan oleh Antonio Gramsci dalam teori hegemoni yaitu sebagai kemampuan untuk mengakomodasikan semua kepentingan kelompok lain, sehingga mereka mau memberikan dukungan serta berpartisipasi.
Dengan begitu, dipastikan jalan inilah harapannya, kekuasaan akan mudah dicapai serta dipertahankan dengan memanfaatkan nama Jokowi. Karena itu, sebetulnya yang paling mungkin dikatakan adalah para relawan itu muncul atau dimunculkan kembali untuk mendukung calon yang sekarang ada. Tidak ada migrasi relawan Jokowi ke Prabowo atau Ganjar, bahkan Anies. Sejak awal, dia dibuat atau dimunculkan untuk sebatas mendukung calon yang ada.
Nama Jokowi disematkan ke sana adalah sekadar gaya marketing. Itu hanya kulit permukaan. Substansinya dari awal atau sejak kemunculannya kembali, mereka adalah relawan atau bagian dari tim calon yang sekarang bertarung. Jangan terkecoh.