Oleh: A. Malik Ibrahim, Politisi Partai Nasdem Malut
“Tiap puisi punya rasa kebatinan, ia yang menentukan sudut pandangnya, dan dari sana puisi itu dibaca dengan batin,”(A. Malik Ibrhim)
SULIT memang mengubah suatu ide fix: apa yang bisa diharapkan dari pulau Moti? Seperti apa sumber daya potensial yang dapat mendorong akselerasi Moti? Jika anggapan membatu yang telah jadi mitos itu bisa diobrak-abrik masyarakat, bisa dibayangkan, betapa luar biasa keunggulan dan daya saing Moti dalam kepentingan pembangunan daerah.
Pulau ini dulunya lengang. Seolah-olah mendung menggantung menunggu ombak pecah; perahu berlayar menuju jeram ujung laut yang tak terduga. Masyarakat Moti sepertinya sedang bergerak gelisah. Barangkali juga kegelisahan tidak relevan; dari puisi yang menghidupkan, juga secara imajinatif. Paradoks, di masa mendatang ia akan meluruh dengan tangan hampa dari sesuatu yang nyata, karena yang kita cari tanpa bisa kita genggam. Dongeng sejarah telah berakhir. Tapi bagi Moti, kedigdayaan itu lebih dari sekedar kenangan masa lampau.
Ketika peta dunia berubah, Moti tetap Moti, pulau yang muram. Dan barangkali di antara jalan-jalan batu Motikota yang tua dan menyimpan sejarah, bayang-bayang heroisme dan ratap tangis serta tawa orang biasa dari ribuan tahun yang silam. Ketika kuasa para sultan redup, Moti tetap memiliki karakter dan budaya yang khas dan kuat.