Oleh: Weko Kuncara, Buruh, tinggal di Gresik
Kota Malang, sekitar akhir Februari 1947. Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP ) – yang waktu itu bertindak kurang lebih sebagai DPR dari republik yang belum diakui kedaulatannya oleh penjajah Belanda itu — sedang melangsungkan sidangnya.
Semua orang sedang dalam puncak gairah revolusi nasional sekaligus didera berbagai kekecewaan demi kekecewaan. Perjuangan melawan Belanda secara diplomasi belum menemukan titik terang, apalagi perjuangan militer.
Karena itu sidang berjalan dengan alot, setiap kelompok tidak mau mengalah dan mundur dari pendapatnya mengenai strategi menghadapi Belanda yang ingin kembali berkuasa. Tidak — atau, sebaiknya, jarang sekali — seperti sekarang, sidang KNIP bisa berlangsung hingga lewat tengah malam.
Terasa bertele-tele dan melelahkan. Tetapi, romansa masa klasik Indonesia itu sungguh-sungguh bisa menjadi pelajaran: semua yang ingin berbicara harus diberi kesempatan berbicara, semua yang ingin didengarkan harus diperdengarkan. Tak peduli sekeras apapun, tak peduli seberapa jauh perbedaan pandangan. Tak ada mikropon yang perlu dimatikan!
Seseorang yang duduk di pojok ruangan terlihat kesal, bosan, dan karena itu, kedua kakinya diluruskan sebagaimana biasa dilakukan oleh seseorang yang ingin beristirahat di kursi setelah duduk berjam-jam. Ia berdiri dan mendekati seseorang yang duduk di pojok lain dalam ruangan.