Oleh: M. Isa Ansori, Kolumnis dan Akademsi, Tinggal di Surabaya
Menjelang 20 Oktober 2024, suasana Istana Moelyono dipenuhi kegelisahan yang tak terbendung. Sinar kejayaan yang dulu menyelimuti pemerintahannya perlahan meredup, terbenam dalam bayang-bayang kegelapan kebohongan yang dibangun selama sepuluh tahun terakhir.
Sang Raja, Moelyono, yang dulunya dielu-elukan sebagai pemimpin rakyat, kini terperangkap dalam labirin ketidakpercayaan dan kemarahan. Setiap kebijakan yang pernah disanjung, setiap keputusan yang dipuja, telah berubah menjadi senjata yang digunakan rakyat untuk menuntut keadilan.
Di luar istana, rakyat berkumpul, membawa bendera yang dulu menjadi simbol perjuangan, kini diwarnai oleh kesedihan dan penolakan. Mereka berbicara dengan satu suara—suara yang menuntut pertanggungjawaban atas janji-janji kosong yang tak pernah dipenuhi.
Politik dinasti yang Moelyono bangun dengan penuh perhitungan kini menjadi alasan utama kebencian. Di setiap sudut kota, bisik-bisik tentang kesewenangan dan dominasi keluarga istana semakin keras terdengar. Moelyono, yang dulu berdiri tegak dengan senyum kebanggaan, kini mulai merasakan betapa rapuhnya kursi kekuasaan yang ia duduki.
Para pendukungnya yang setia, sebagian besar adalah sosok-sosok yang berperilaku arogan, membuat suasana semakin panas. Setiap gerakan mereka seolah mengabaikan suara rakyat yang sudah tak sabar menunggu hari penghakiman.








