Oleh: Ady Amar, Kolumnis
Menjadi raja-rajaan saat kanak-kanak dulu kala, itu jadi prestasi tersendiri. Menjadi raja, meski sekelas raja-rajaan, itu penuh kebanggaan. Kebanggaan yang disimpan hingga dewasa. Bagaimana tidak, ia terpilih memerankan seolah raja seutuhnya, yang melihat semua peran lain jadi kecil. Meski terkadang peran jadi raja itu muncul cuma sekali dua kali saja sepanjang episode kisah itu dibuat.
Terpilih berperan jadi raja di antara para kawan yang lain, itu punya persyaratan yang mesti dipenuhi. Semacam kesepakatan yang disepakati diam-diam, yang kemudian jadi pakem untuk tidak dilanggar. Jadi kesepakatan baku yang mesti dipatuhi. Di mana yang memerankan sebagai raja adalah yang paling segala-galanya di antara mereka. Paling tampan, tinggi semampai, dan jika mungkin dengan intonasi suara tegas menggelegar. Sedang pintar dan sikap bijaksana, sepertinya belum jadi ukuran saat itu.
Menjadi raja meski sesaat, itu jadi kebanggaan tersendiri. Dikenang di antara mereka, atau dikenang pribadi yang terpilih memerankannya. Terpilih bisa atas pilihan antarkawan, atau dipilih sutradara dadakan tujuh belas agustusan, yang mementaskan lakon dengan menyertakan raja dalam kisah yang disuguhkan. Peran raja, baik dipilih antarkawan atau oleh pengatur laku tetap memegang pakem, dipilih di antara mereka yang tampan dan punya intonasi suara tegas.