Oleh: Muhammad Diadi, Penulis, Pelaku Budaya Galela
Sangaji adalah gelar kepala komunitas tradisional atau kepala distrik, yang digunakan oleh pejabat pemerintahan kesultanan Ternate yang disebut Bobato dunia yang mengurusi masalah-masalah politik dan pemerintahan, atau segala sesuatu yang bersifat duniawi.
Gelar sangaji pada masyarakat Galela dapat ditelusuri pada abad ke-16 ketika ekspansi perluasan wilayah di Galela oleh kesultanan Ternate dibawah pemerintahan Sultan Khairun Jamil (1535-1570) dengan pasukan gabungannya dari Gamkonora,Ternate dan Portugis untuk menyerang Galela pada tahun 1543.
Pada tahun itu (1543) Galela dikalahkan sebagai akibat kekalahan ini, orang Galela harus mengakui kekuasaan Kesultanan Ternate dan Sangaji Gamkonora Leliato, ipar laki-laki Sultan Khairun. Orang-orang Galela berada dilingkungan pengaruh kesultanan Ternate dan Gamkonora sehingga sistem pmerintahan kesultanan Ternate diterapkan dalam lingkungan masyarakat Galela yang saat itu masih memiliki pemerintahan sendiri.
Pada tahun 1562 salah seorang penduduk di Galela yang sudah beragama Islam bergelar Sangaji. Tetapi ia mengubah haluan politiknya dengan cara pindah ke agama Katolik. Dengan cara ini, ia memasukkan pengaruh orang Portugis. Hanya itu saja tentang Sangaji Galela di abad ke-16.
Hingga pada abad ke-18 tepatnya di tahun 1740, sebuah pemberontakan oleh Sangaji Galela dan Sangaji Gamkonora untuk menentang Sultan Ternate Kaicil Raja Laut (1714-1751) dan Gubernur Jenderal Belanda Marten Lelievelt (1739-1744) tentang penindasan yang di lakukan oleh Belanda dan kesultanan Ternate dalam hal ini tentang ekstirpasi (pemusnahan pohon-pohon cengkeh dan pala untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah).
Sehingga pada tahun 1741 sebuah perjanjian telah ditandatangi di antara perwakilan VOC dan pemerintahan Sangaji Galela. Perjanjian-perjanjian tersebut menetapkan kewajiban-kewajiban kepala-kepala suku Galela untuk lebih memperhatikan pertisipasi mereka dalam Ekstirpasi dan Sangaji Gamkonora tidak lagi berhak memerintah di wilayah Galela hingga pada tahu 1822 pengaruh pemerintahan Gamkonora berakhir.
Di bawah penandatanganan perjanjian tahun 1741 di antara pemerintahan kolonial di satu pihak, Ternate beserta jajahan-jajahannya di lain pihak, selain Gamkonora, Galela secara lansung juga diwakili oleh seorang sangaji dan dua orang hukum. Kelibatannya satu pimpinan untuk seluruh Galela, dengan pangkat sangaji, telah diakui oleh pemerintahan Ternate dan pemerintahan kolonial Belanda.
Selama abad ke-19 Kesultanan Ternate dibawah kepemimpinan Sultan Muhammad Ali (1807 – 1821), hingga pada masa kepemimpinan Sultan Muhammad Zain (1823 – 1859) sangaji Galela kadang-kadang disebutkan, tetapi nampaknya ia tidak lagi memainkan peran yang menonjol atau memiliki kekuasaan yang besar, baik di dalam maupun di luar Galela hingga pada masa Sultan Muhammad Arsyad (1859 – 1876) pada tahun 1861 atas desakan Belanda, sultan Muhammaf Arsyad melakukan pemecatan terhadap Sangaji Galela dikarenakan sebagian rakyat Galela menjadi bajak laut.
Tempat kediaman sangaji Galela di pesisir, perkampungan Islam di Soasio yang baru dibentuk pada abad ke-19. Kesultanan Ternate memberikan gelar Soa sio (sembilan soa) pada masyarakat Galela saat itu. Hal ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, atas keterlibatan masyarakat Galela membantu pasukan perang Kesultanan Ternate. Kedua, berpindahnya agama lokal masyarakat Galela ke agama Islam. Meski perannya sudah mulai meluntur kesembilan soa ini masih tetap bertahan hingga kini. Sangaji berasal dari masyarakat Islam di Soasio dimana juga terdapat perwakilan-perwakilan dari Sultan Ternate, jadi berdiri luar masyarakat Galela (Fraassen 1979:2-6).
Salah satu wewenang politik yang paling penting khusus sangaji adalah memilihara hubungan antara wilayahnya dengan kadaton. Dimana sangaji memberikan upeti dan mengatur berbagai kewajiban untuk rakyatnya terhadap kesultanan.
Upeti-upeti dibagi dua bagian yaitu upeti berupa bahan makanan dan tenaga manusia kepada kesultanan.
Pada ekspedisi Hongi yang suda ada sejak abad ke-17, Sangaji Galela bertanggungjawab agar wilayahnya senantiasa menyediakan sejumlah perahu perang (djuanga) yang sewaktu-waktu dapat dikerahkan untuk kepentingan Sultan. Serta sangaji Galela berkewajiban untuk mengawasi agar perahu-perahu perang yang sudah dijatahkan bagi wilayahnya selalu siap pakai, sehingga bila sultan mengirim utusan dengan perintah untuk berkumpul, maka perintah itu dapat dilaksanakan dengan segera.
Di abad ke-19 ini Halmahera Utara khusunya Galela adalah wilayah yang terbanyak menyiapkan armada pengayuh sebanyak 406 orang untuk kesultanan Ternate sedangakan armada Jailolo sebanyak 19 orang, armada Sahu 246 orang, armada Tobaru 200 orang, armada Gamkonora 114 orang, armada Tolofuo 26 orang dan armada Kao 208 orang (Leirissa 1990:174-187). (*)