Oleh: Megawati Soekarnoputri, Seorang Warga Negara Indonesia
Ketukan palu hakim MK akan menjadi pertanda antara memilih kegelapan demokrasi atau menjadi fajar keadilan.
Rakyat Indonesia sedang menunggu dan akan mencatatkan dalam sejarah bangsa, apakah hakim Mahkamah Konstitusi dapat mengambil keputusan sengketa pemilu presiden dan wakil presiden sesuai dengan hati nurani dan sikap kenegarawanan, ataukah membiarkan praktik elektoral penuh dugaan penyalahgunaan kekuasaan (”abuse of power”) dalam sejarah demokrasi Indonesia?
Di tengah penantian lahirnya keadilan sejati di Mahkamah Konstitusi, perhatian saya tertuju pada sebuah patung Dewi Keadilan.
Patung itu ditaruh di samping meja ruang rapat kediaman saya agar mengingatkan pentingnya keadilan hakiki tanpa balutan kepentingan lain, kecuali keadilan itu sendiri.
Patung Dewi Keadilan yang saya beli ketika berada di Amerika Serikat itu mengandung beberapa pesan kuat.
Pertama, mata Dewi Keadilan tertutup kain. Mata tertutup menghadirkan ”keadaan gelap” agar tak tersilaukan oleh apa yang dilihat mata. Dengan mata tertutup itu, terjadi dialog dengan hati nuraninya dalam memutuskan perkara dengan tidak membedakan siapa yang berbuat.
Kedua, timbangan keadilan sebagai cermin keadilan substantif. Ketiga, pedang yang diturunkan ke bawah menegaskan bahwa hukum bukanlah alat membunuh, tetapi didasarkan pada norma, etika, kesadaran hukum, dan tertib hukum serta keteladanan para aparat penegak hukum.